Aku ingat betul, pada waktu aku masih mengenakan seragam putih-merah dahulu, bapak seringkali memintaku untuk membelikannya obat pereda nyeri asam urat. Di lain waktu, aku mendengar percakapannya dengan mama perihal sakit reumatik. Kemudian, aku dengan rasa sok tahu yang tinggi ini menyimpulkan bahwa asam urat sama dengan reumatik.
Hingga pada Kamis, 21 Maret 2019, aku baru mengetahui bahwa hal tersebut salah. Gila, butuh berapa tahun untukku sadar akan kesalahan tersebut, ya? Wah, karena aku tidak ingin ada banyak orang lagi yang salah paham, maka aku akan menuliskan sedikit pengetahuan yang aku dapatkan di hari tersebut ya.
Cukup kaget rasanya saat dr. Rudy Hidayat, Sp.PD-KR, spesialis rheumathology, menyatakan bahwa reumatik memiliki cabang penyakit hingga 150-an banyaknya. Asam urat yang aku tau selama ini hanyalah bagian kecil dari ranting cabangnya saja. Dan, pun di hari itu ada yang sungguh membuatku menjadi seorang paranoid karena cerita yang dilontarkan oleh dr. Adhiyatma Prakasa Gunawan dan drg. Rio Suwandi mengenai sakit yang dideritanya.
Ankylosing Spondylitis, atau yang biasa disebut juga dengan AS, yang diderita oleh dr. Adhiyatma Prakasa Gunawan merupakan penyakit aytoimun, di mana sistem kekebalan tubuh mulai menyerang sel dan jaringan yang sehat. Respon dari sistem imun yang abnormal tersebut menyebabkan peradangan (artritis) pada sendi tulang belakang. Ngerinya, penyakit ini bisa membuat ruas tulang belakang kita menyatu, sehingga penderita akan sulit untuk bergerak. Akibatnya, menjadi bungkuk dan mengalami kesulitan dalam bernapas.
Ada fakta unik yang terkuak juga, bahwa ternyata penyakit AS ini lebih sering diderita oleh pria dengan peluang tiga kali lebih tinggi daripada wanita. Walaupun bisa terjadi di segala usia, umumnya AS mulai berkembang pada masa remaja atau dewasa awal di kisaran usia 20 tahun. Hanya lima persen saja yang baru mengalami gejalanya di usia 45 tahun. Usia produktif kayak aku, nih, ternyata rentan sama AS. Yakan, aku jadi parno wahaha!
Nah, kalau untuk penyebabnya sendiri, masih belum diketahui secara pasti nih. Namun, para ahli menduga bahwa AS kemungkinan disebabkan oleh faktor keturunan (genetik) dan lingkungan. Gen HLA-B27 diduga memiliki peranan, karena 85-95% penderita menunjukkan positif pada gen tersebut.
Lalu, kalau ternyata aku (atau kamu) memiliki gen HLA-B27, akan menderita penyakit AS dong?
Oh, tenang. Belum tentu, kok. Baru-baru ini, para ahli juga menemukan dua gen tambahan, yaitu IL23R dan ERAP1 bersama dengan HLA-B27 dapat membawa risiko genetic Ankylosing Spondylitis (AS).
Gejala penyakit Ankylosing Spondylitis (AS) ini bagaimana, sih?
Pasien AS biasanya mengalami gejala seperti peradangan, rasa sakit, dan kekakuan di bagian tulang belakang serta sendi lain seperti bahu, pinggul, tulang rusuk, atau tumit yang biasanya terjadi pada pagi hari. Sungguh gejala yang tampak sepele, ya? Namun, untuk AS sendiri gejala ini akan terus terjadi selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun. Dari pengakuan dr. Adhiyatma Prakasa Gunawan, gejala ini bisa jadi datang dan pergi, membaik dan memburuk, serta muncul dalam rentang waktu tertentu.
Psoriatic Arthritis, atau yang biasa disebut juga dengan PsA, yang diderita oleh drg. Rio Suwandi merupakan penyakit autoimun, di mana sistem kekebalan tubuhnya salah mengenali dan mulai menyerang sel dan jaringan yang sehat. Respon imun yang abnormal tersebut menyebabkan peradangan pada persendian serta kelebihan produksi sel-sel kulit.
Memang, sih, penjelasan dari kedua penyakit di atas terbilang cukup mengerikan, tapi yuk kenalan dulu Secukinumab yang dikembangkan oleh Novartis!
Pada bulan Januari 2019, Secukinumab telah mendapatkan persetujuan Badan POM untuk mengobati Ankylosing Spondylitis (AS) dan Psoriatic Arthritis (PsA). Sebelumnya, Secukinumab dinilai efektif mampu membantu pasien Psoriosis untuk mendapatkan kembali kulit bersih hingga sembilan puluh persen.
“Saat ini, jenis pengobatan yang banyak digunakan untuk menangani, baik penyakit AS maupun PsA, di antaranya adalah obat-obatan non-steroid anti-inflamasi (NSAID), obat anti-reumatik (DMARDs), dan yang terbaru adalah agen bilogik. Tersedianya Secukinumab sebagai salah satu pilihan terapi agen biologic diharapkan dapat membantu menjawab kebutuhan pengobatan pasien AS dan PsA di Indonesia agar bisa mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik,” papar dr. Rudy Hidayat, Sp.PD-KR.