(Disarankan untuk membaca tulisan ini sembari mendengarkan lagu dari Amigdala berjudul “Tuhan Sebut Sia-sia”)
Dua puluh satu tahun lalu, saya adalah seorang gadis kecil yang menemukan mainannya dijadikan alat isap sabu. Kemudian, saya tahu, saya dan masalah-masalah hidup yang tidak umum bagi teman sebaya akan bergandengan tangan sepanjang waktu. Dan, mau tidak mau, saya harus berupaya sekuat tenaga untuk meremukkan cengkeram yang tidak diinginkan tersebut.
Saya sangat berterima kasih kepada saya di masa lalu. Sebab, alih-alih merasa terperangkap dalam keadaan buruk dan melanggar norma-norma yang berlaku, yang ada di kepala gadis kecil itu hanyalah mengembalikan nama baik keluarga di lingkungan tempatnya berteduh. Dan, pilihannya pada saat itulah yang akhirnya menentukan langkah yang saya pijak hingga saat ini dan seterusnya.
Menjadi negasi dari (alm) kakak saya adalah satu-satunya tujuan saya pada masanya. Laju kaki saya tanpa dipaksa, hanya sebatas ungkapan bakti yang saya miliki kepada orangtua. Walau, ya, saya tidak paham kenapa upaya saya tidak pernah tampak di mata mereka. Katanya, “Dosa apa sih sampe punya anak gak ada yang bisa bahagiain orangtua?!” Ck, hati saya selalu remuk mendengar kalimat pahit yang terus berulang.
Aku, dingin
Dan kau makin semarak
Menuang cuka di atas luka
Seringkali, saya iri melihat teman-teman yang diapresiasi baik oleh orangtuanya atas segala upaya yang dilakukan. Padahal, selama ini, prestasi saya bisa dibilang lumayan.
Mulai dari taman kanak-kanak, guru-guru saya selalu memuji kemajuan saya dalam segala bidang yang diajarkan. Bahkan, mereka sempat memperebutkan saya untuk mewakili sekolah mengikuti dua lomba yang jadwalnya bertabrakan. Beralih ke masa putih-merah, yang seringkali saya sebut sebagai masa kejayaan, baik kegiatan akademik maupun non-akademik saya ikuti dengan baik. Banyak piala dan piagam penghargaan yang saya dapatkan karenanya. Juara umum sekolah? Tentu milik saya. Namun, apakah hal tersebut membuat orangtua saya menengadahkan kepalanya dengan bangga? Ha ha ha.
Saat sekolah menengah pertama, saya adalah salah satu dari 40 besar murid paralel satu (sebutan untuk kelas unggulan pada masa itu) di sekolah bertitel RSBI—Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional—yang berhasil bertahan selama tiga tahun berturut-turut. Lalu, putih-abu adalah masa kelabu di mana saya hampir putus sekolah karena tidak mampu. Untungnya, nilai-nilai rapor sangat membantu saya mendapatkan tiga beasiswa sekaligus untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan sampai lulus. Kalau perihal kuliah, enggak ada hal yang istimewa selain sama sekali berhenti menggantungkan diri pada orangtua.
Namun kenapa? Kenapa saya selalu jauh dari kata cukup? Seberapa banyak pun menang yang saya raih, saya hanyalah kekalahan yang mengharap hangat peluk dari kejauhan.
Aku mendakimu jauh sampai patah kaki
Sedang kau mati suri berdendang sendiri
Saya merasa diri saya kecil dan tidak berarti. Melihat kumpulan tawa di dunia adalah ngeri yang seringkali saya hindari. Masih ada kosong yang belum terjelaskan hingga saat ini. Lubang yang tidak juga terisi karena orang-orang yang saya harapkan melengkapi—pada kenyataannya—malah terus menyakiti.
Saya berdiri dengan lutut yang bergetar. Melahap getir secara sukarela dan menjadikannya menu harian. Semesta saya begitu penuh dengan teriak ketidakpuasan. Sementara, telinga saya semakin tajam menangkap bunyi yang memuakkan. Ingin rasanya melepas penat yang bertubi menghunjam kepala, tapi suara saya tercekat tepat di ambang tenggorokan. Kemudian, luruh lagi bendungan kokoh yang sekuat tenaga dipertahankan.
Aku mendakimu jauh sampai patah kaki
Sedang kau mati suri berdendang sendiri
Apa yang mereka sebut dengan rumah adalah hal yang saya kenal sebagai penjara. Berulang kali, saya menubrukkan tubuh ke belenggu sel untuk menikmati bebas di dunia luar. Namun ternyata, saya masih salah. Lucut dari satu derita dan masuk ke lubang yang lainnya. Hidup memang luar biasa serunya.
Semakin jauh kaki saya melaju, rasanya temuan-temuan tentang “gambaran keluarga bahagia” membuat saya bergidik takut. Kenapa mereka bisa saling tersenyum? Hah, tawa macam apa itu? Apa? Kenapa hangatnya begitu asing di tubuh? Hingga sampai pada titik di mana saya pernah tidak menginginkan pernikahan terjadi dalam hidup.
Sebuah definisi yang telah rusak sedari dini membangun saya sebagai pribadi yang penyendiri. Alih-alih memulai interaksi, saya lebih suka menunjukkan bahwa saya tidak peduli.
Sejak itu Tuhan sebut kita sia-sia
Sejak itu Tuhan sebut kita sia-sia
Sejak itu Tuhan sebut kita sia-sia
Sejujurnya, sebagai manusia—yang pada dasarnya adalah makhluk sosial, ya… agak sepi juga.
Namun, entah kenapa, saya sangat menyukai ketidaksempurnaan yang saya miliki di dalam hidup saya. Baik dan buruk yang ada di dalamnya adalah bagian dari detik-detik berharga yang saya punya. Hal yang membentuk saya menjadi pribadi yang saya kenali sekarang.
***
Tulisan ini dibuat dalam rangka menulis serentak dengan tema “insecurity” bersama teman-teman saya yang luar biasa. Silakan kunjungi juga tulisan mereka:
- Perihal Tubuh dan Insecurity oleh Putri Azka
- Kenapa Kita Insecure dan Bagaimana Cara Meraih Emotional Security oleh Suci Wulan
Tabik!
Pertiwi
3 komentar
Curahan hati yang berkelas! Setiap racikan katanya meresap sampai ke tulang-tulang. Seperti menonton film lawas yang diputar pelan di bioskop tanpa seorang.
BalasHapusDan untukmu yang bertahan;terima kasih telah menemukan betapa berharganya bahagia dan betapa bahagianya aku menemukanmu yang berharga.
Gue bacanya merinding. BISA BISANYA YA LU BIKIN KONTEN CURHAT KAYAK GINI!!!!!!! AK MW NANGIS T______T
BalasHapusAku bukan orang yang bisa langsung paham makna dari kata-kata yang puitis. Aku bikin puisi aja nangis. Tapi, entah gimana, kalau Tiwi yang nulis. Bisa paham, bisa ikut hanyut dalam cerita. Tau-tau nangis ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ entah bakat alam atau bawaan orok, Tiwi bisa membuat pembacanya hanyut dalam emosi, dia menyentuh hati pembacanya dari luar, pake segala dikasih lagu lagi! Ngidenya pas! MAKIN NIKMAT INI NANGISNYA WOYðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer