Entah sudah kali ke berapa aku menguap. Alih-alih meningkatkan daya konsentrasi untuk menyelesaikan setumpuk naskah yang sejak tadi kugauli, rupaya kantuk kini mulai begitu keras menampakkan eksistensi. Haduh. Kukucek mataku, kanan dan kiri. Masih berharap sadarku mau bekerja sama dengan baik.
Namun, rupaya rayuan bantal-guling dan kasur empuk di belakangku terasa semakin menggoda lelah untuk segera rebah. Ah, sudahlah. Kumundurkan kursi kerjaku, kucoba bangkit dengan gontainya dari sana, dan meninggalkan laptop di atas meja kerja yang bahkan belum sempat kumatikan. Masih ada besok, kilahku kemudian.
Bruk! Sukses sudah kulemparkan tubuhku beserta segala penat yang hinggap seharian. Tanpa ba-bi-bu, pejamku begitu fasih mengambil alih kedua kelopak mata. Pelan, pelan, lelap melambai. Sebelum akhirnya….
TRING!
Refleksku begitu cepat membuka kembali mata yang baru terkatup sesaat. Malas-malas jemariku meraih smartphone di samping ranjang. Siapa, sih, malam-malam begini?
“Kalau aku jadi pemimpin? Enggak ada pertanyaan yang lebih berat lagi, nih?”
Kuletakkan lagi ponsel pintar itu ke tempat semula. Aku mengangut, tidak tertahankan. Balasnya besok saja. Kembali kututup kelopak mata, tapi sayangnya bola mataku masih berputar-putar di baliknya. Memikirkan apa yang akan aku lakukan untuk Indonesia jika suatu saat dapat memimpinnya?
Satu menit, tiga menit, lima menit… kulihat cahaya di ujung pandang.
***
Aku berada di satu ruangan. Kosong. Hanya ada aku, sepasang meja dan kursi tepat di tengah ruangan, cermin besar yang terpampang di tengah dinding depan, dan sebuah pintu kayu yang dipernis mengilat di sebelah kanan. Aku sendiri menggunakan setelan hitam-putih rapi layaknya karyawan magang.
Di tengah kebingungan, kakiku berinisiatif menghampiri meja-kursi yang ada. Oh, ada secarik kertas! Kutarik kursi itu untuk duduk, agar dapat membaca tulisan di dalam kertas dengan lebih jelas.
Seandainya aku menjadi pemimpin, apa yang akan aku lakukan untuk Indonesia?
Hm, lagi-lagi ini. Aku memutar kepalaku, berharap dapat menemukan petunjuk yang bagus untuk menjawab pertanyaan di hadapanku. Hingga tertumbuklah mataku pada diriku yang lain di dalam cermin. Aku. Mungkinkah petunjuk yang kubutuhkan sesungguhnya ada di dalam diriku? Sesuatu yang sebetulnya sudah sejak lama ada, tapi belum benar kumaknai hadirnya?
Baiklah, aku akan mencoba untuk menjawabnya.
Satu hal yang sejak lama kuperhatikan dan sangat ingin kuubah adalah pendidikan di Indonesia. Karena, bagiku, pendidikan adalah kunci utama dari baik-buruknya perilaku manusia, yang pada akhirnya akan menggiring keputusan-keputusan pada suatu tindak nyata. Maka, dengan memperbaiki sistem pendidikan yang ada dapat membawa kemakmuran bagi masyarakatnya.
Kalau dilihat dari bagaimana pendidikan yang berjalan saat ini, ada dua poin dasar yang menurutku bisa mulai dibenahi: kualitas dan kuantitas. Rasanya, bukan hal yang mengejutkan lagi ya bila dikatakan bahwa kualitas dan kuantitas pendidikan di Indonesia belum merata.
Pernah kusinggahi salah satu sekolah dasar di wilayah Bogor yang guru-gurunya tampak kurang menjiwai profesinya. Tentu kualitas pengajar yang seperti ini dapat sangat berpengaruh pada terbentuknya pola pikir dan perilaku murid-murid yang ada. Apalagi, mereka ada di jenjang pendidikan dasar yang semestinya menjadi fondasi hidup generasi muda ke depannya.
Lalu apakah hal ini menjadi kesalahan penuh dari guru-gurunya? Oh, belum tentu. Kalau aku menjadi pemimpin, aku ingin sekali menaikkan kesejahteraan para guru ini agar hidupnya lebih bahagia. Nah, kebahagiaan yang sudah didapat tersebut—mungkin saja—bisa digunakan sebagai modal untuk lebih optimal dalam mengajar, kan? Sehingga, masalah perihal kualitas pendidikan di Indonesia bisa dibenahi secara perlahan.
Oh iya, aku pun sempat mempertanyakan ada atau tidak ya bentuan profesional untuk guru-guru yang memiliki masalah—di luar soal kesejahteraan material? Setahuku, jika ada murid-murid yang memiliki masalah demikian, di sekolah sudah ada guru bimbingan dan konseling yang siap membantu mereka. Sementara, jika yang bermasalah adalah guru-gurunya, bagaimana? Lelah dan stres menghadapi beragam murid dengan keunikannya masing-masing, kan, pastinya tidak dapat terhindarkan dari profesi ini. Jika belum ada, aku juga ingin sekali dapat andil untuk mengatasinya. Menyediakan bantuan profesional untuk guru-guru yang ingin menumpahkan keluh kesahnya dengan aman dan nyaman.
“Aku ke sekolah jalan kaki, Kak,” tetiba satu kejadian di masa lampau terputar di kepalaku, seorang gadis kecil kelas 3 SD dengan rambut panjang yang dikepang satu ke belakang sedang berbicara malu-malu saat kuajak ngobrol di muka musholla.
“Rumah kamu di mana?”
“Di sana,” jarinya menunjuk jauh menembus tingginya pepohonan hijau yang terbentang, “aku jalan kaki satu kilometer dari rumah ke sekolah,” sambungnya.
Aku ingat betul rasa itu. Ada perih yang ingin mendobrak keluar, tapi malu melihat senyum adik kecil yang masih tetap ceria walau sulitnya menjangkau pendidikan.
Maka, tentunya jikalau aku mendapat kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin, ingin sekali rasanya menambah kuantitas pendidikan formal yang ada di Indonesia. Ya, supaya semangat belajar anak-anak yang begitu besar seperti adik tadi tidak lebih dulu tergerus oleh panjangnya jarak. Agar energi mereka yang sangat berharga itu bisa digunakan dengan lebih maksimal dalam menyerap ilmu yang akan mereka dapatkan di kelas.
Aku dan Kakak-adik Sekolah Rumpin |
Kurasa, hal-hal tersebut sangat mungkin untuk diwujudkan. Terlebih, untuk soal pendidikan di Indonesia sendiri, aku tahu sudah banyak generasi muda yang turun langsung untuk memperbaikinya. Aku juga pernah ikut serta, kok. Walau masih dalam bentuk komunitas sekolah alternatif, peran generasi muda dalam hal ini tentu menjadi suatu pergerakan yang penting.
Hal yang sangat aku kagumi dari sekolah alternatif bentukan orang-orang muda yang sempat kuikuti tersebut adalah perihal kurikulum yang dibuatnya. Terasa begitu dekat dan nyata. Tentunya, dapat langsung diaplikasikan dalam keseharian. Berbeda sekali dengan apa yang dulu aku dapat semasa sekolah. Melulu tentang nilai di atas kertas. Ini juga akan jadi salah satu goals-ku jika menjadi pemimpin dan dapat memperbaiki pendidikan di Indonesia.
Aku, sebagai bagian dari generasi muda yang ada sekarang, sangat berharap bisa melakukan sesuatu yang lebih untuk bumi yang kupijak sejak lahir ke dunia: Indonesia. Dan senangnya, aku tahu dengan pasti, bahwa harapan yang kugenggam ini juga ada di dalam kepalan tangan generasi muda lainnya. Peran generasi muda memang tidak dapat diabaikan.
KREEEK!
Tetiba pintu di sebelah kananku terbuka. Ada cahaya yang begitu terang terpancar dari baliknya. Aku bangkit dari dudukku. Kuletakkan kertas yang sedari tadi kugenggam di atas meja. Eh, kok tulisannya hilang? Baru kusadari pertanyaan yang tertera sudah lenyap. Ah sudahlah. Kulanjutkan langkah kaki menuju pintu, menghampiri cahaya, dan membenamkan tubuhku ke arahnya.
***
04.17 AM
Hoaaam! Aku meregangkan tubuhku sebelum benar membuka mata. Pagi ini, rasanya berbeda. Seperti ada setumpuk semangat baru yang siap menemani menapaki dunia.
Ah iya, mimpiku semalam! Aku membuka mata. Tersenyum pada entah apa. Namun yang kutahu pasti setelahnya: aku akan terus berupaya untuk Indonesia.
Tabik!
Pertiwi
0 komentar
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer