Semakin hari, ternyata dunia perblogeran ini semakin bergeser saja. Sungguh jauh sekali dari kenikmatan yang dahulu pernah saya rasakan. Kalau dibilang kecewa, ya enggak bisa juga. Sebab, saya masih mengandalkannya untuk menghimpun rupiah. Hanya saja….
Saya lebih merasa sedih, sebenarnya. Akhir-akhir ini, saya merasa bahwa banyak sekali narablog yang mulai tidak peduli lagi dengan tulisannya. Bahkan, saya bisa bilang benar-benar tidak peduli dengan tulisan yang mereka hasilkan.
Bukan. Saya bukan menilai dari proses menulis yang sudah mereka lakukan. Bukan juga saya nilai dari bagaimana kualitas tulisan yang mereka hasilkan. Namun, saya memerhatikan bagaimana cara mereka saat membagikan tulisan yang, mungkin, sudah susah payah mereka kerjakan.
“Minta tolong sedekah view-nya, dong.”
“Sedekah kliknya, dong. Enggak usah dibaca enggak apa-apa, didiamin dulu aja dua menit baru close tab.”
Sudah tampakkah kejanggalannya?
Untuk saya pribadi, menulis adalah sesuatu yang punya tujuan besar. Selain untuk diri saya, saya ingin membagikan sesuatu kepada khalayak yang mungkin bisa tercerahkan. Saya tau, saya masih belum jadi apa-apa. Namun, saya masih berusaha mencapai apa yang menjadi tujuan.
Dari kapitalis, jadi pengemis.
Selepas tren yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan uang lewat blog yang dikelola, ternyata dampak lain selain kapitalisasi ini lebih menyesakkan dada. Banyaknya job yang dituai oleh para narablog ini mengharuskan mereka memiliki jumlah views tertentu yang, bisa jadi untuk sebagian darinya, sulit untuk dijangkau.
Saya masih lebih menghargai mereka yang berusaha mempelajari search engine optimilizer (SEO), ya, daripada mereka yang ujug-ujug ramai di berbagai grup meminta sedekah views.
Jika kamu termasuk golongan orang yang sedang saya bicarakan, jangan dulu tersinggung ya. Namun, coba lebih hargai kembali tulisan-tulisan yang sudah susah payah dibuat. Pasti ada proses di baliknya, kan? Nah, masa proses itu mau ditukar dengan sekadar klik saja?
Beda urusan mungkin ya untuk mereka yang tujuannya menulis adalah untuk uang. Baginya, ya, biasa dan sah-sah saja. Yang saya sayangkan adalah mereka yang mengawali kegiatan ini dari kecintaannya. Yang semakin hari semakin berubah karena tuntutan dunia.
Saya juga pernah ada di posisi yang sama. Kemudian, saya sadar. Kebahagiaan saya dalam menulis mulai menghilang. Saya ingin kembali ke dunia yang dulu pernah saya buat sebagai pelarian. Namun, saya sempat terjebak. Sulit sekali untuk keluar. Dan dengan menuliskan ini, mungkin, bisa berguna untuk mencerahkan mereka yang masih terjerat.
Perihal media sosial pun akhirnya juga sama. Karena, sekarang sudah pakai sistem paketan. Bukan lagi soal pengejar followers, tapi juga like dan komentar. Dengan cara yang sama, mereka terang-terangan meminta sedekah. Terus, ini yang dibilang follow-followan untuk saling bantu sesama narablog? Masa like dan komentar aja sampai harus ngemis dulu, sih?
Enggak tau, ya. Bisa jadi ada banyak kemungkinan di baliknya. Mungkin, meminta sedekah untuk membuat teman-temannya merasa iba. Mungkin, menggunakan kata sedekah hanya sebagai candaan belaka. Atau, masih banyak mungkin-mungkin yang lainnya.
Namun, bagi saya, selagi saya bisa dan mampu menggunakan kalimat yang baik dan positif, saya akan bergunakan. Bukan dengan memelas atau bercanda yang semakin ke sini semakin memuakkan.
“Blogwalking, yuk!”
“Eh, gue punya postingan baru, nih!”
“Mampir ke blog gue, dong, gue habis nulis tentang blablabla, lho.”
Ya, dulu seperti itu. Bisa enggak sih, aura di dunia perblogeran ini dikembalikan jadi positif?
Tabik!
Pertiwi
1 komentar
Ngeri sih sama yang terang-terangan minta view. Kayak gak ada value yang bisa ditawarkan dari tulisannya aja.
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer