Malam, sepulang kegiatan yang melelahkan, saya kembali pada aktivitas yang itu-itu saja: menghadap media sosial. Tetiba, saya temukan tagar yang menarik dan cukup ramai dikicaukan si burung biru muda di dunia maya. Penasaran. Jadi, #bibitunggul itu apa, sih?
Setelah scrolling ke sana kemari, sampailah saya pada awal di mana permasalahan mengenai #bibitunggul ini dimulai.
Yang saya pahami di sini, kedua pihak sama-sama salah pada awalnya. Mbak F yang menyambar cuitan Om P tanpa melihat kelanjutan cuitannya pun tanpa tau latar belakang Om P itu salah. Om P yang terlalu serius menanggapi cuitan Mbak F pun salah, apalagi dengan kata-kata “mahasiswa seperti Anda”. Awalnya, keduanya—menurut saya—ya sama-sama tidak sopan.
Namun, kejadian setelahnya membuat saya geleng-geleng kepala. Semestinya, setelah kedua pihak saling meminta maaf (dengan caranya masing-masing), semuanya bisa selesai. Namun, saya cukup paham kenapa banyak warganet menyerang Mbak F kemudian.
Hal yang mereka soroti adalah mengenai attitude Mbak F yang dianggap jauh sekali dengan prestasi yang dimilikinya. Kesombongannya, dinilai akan merusak masa depannya kemudian. Bahkan, beberapa selebtweet pada akhirnya membuat tangkapan layar atas cuitan Mbak F di akunnya dan me-repost dengan caption berupa imbauan kepada para HRD agar tidak menerima Mbak F sebagai karyawannya kelak.
Wow, sampai sebegitunya ya?
Saya termasuk orang yang menyerahkan masa depan saya sepenuhnya kepada Tuhan, tanpa ingin menebak-nebak karena takut kecewa. Saya hanya barusaha menjalani apa yang ada di depan mata saya semaksimal yang saya bisa. Memprediksi masa depan saya sendiri saja rasanya masih enggan, buat apa juga saya memprediksi masa depan orang lain?
Apa yang dilakukan selebtweet-selebtweet tersebut, bagi saya, juga merupakan tindakan yang salah.
Namun, pasti akan ada yang bilang, “Enggak akan ada asap kalau enggak ada api!”
Yap, benar sekali. Saya setuju. Attitude Mbak F yang dianggap kurang baik oleh warganet memang sangat berhasil menyulut mereka sampai terbakar sehangus-hangusnya. Saya juga tidak membenarkan perilaku Mbak F yang demikian. Namun, saya salut dengan pertahanan yang dilakukan Mbak F dalam menghadapi segerombolan warganet yang tanpa henti menyerangnya.
Mental baja.
Saya yakin, di dalam hatinya, Mbak F tau benar bahwa dia salah. Namun, karena tindakan warganet sudah di luar batas wajar, ya sudah lawan saja sekalian. Memang, caranya dalam melawan serangan-serangan tersebut masih dapat dikategorikan kurang tepat. Ya, setidaknya ada usaha untuk bertahan. Daripada melayangkan nyawa sendiri karena bully-an, kan?
Mengenai attitude.
Banyak yang bilang bahwa attitude adalah hal yang nomor satu. Percuma kalau punya segala macam kemampuan, tapi attitude-nya tidak bagus. Seleksi alam akan membuatnya hangus. Namun, siapa yang tau? Saya, kamu, kita kan bukan sebenar-benarnya penguasa alam semesta.
Kalau dipikir-pikir, saya terbilang jarang melihat seseorang dari attitude yang dimiliki. Saya, lebih dulu fokus pada apa yang bisa seseorang lakukan. Apalagi, jika apa yang bisa dilakukannya adalah hal yang baru bagi saya. Ketertarikan saya untuk belajar banyak hal membuat saya selalu haus pada hal-hal yang demikian.
Namun, ada kalanya saya enggan mengenal seseorang lebih jauh karena perasaan saya berkata jangan. Mungkin, saya cukup peka dengan aura seseorang hahaha. Jika pertemuan dengan seseorang sudah membuat saya berkomentar dalam hati, “Wah, auranya gak enak, nih,” itu artinya saya harus berhenti. Bahkan, dari kalimat-kalimat yang diketikkannya pun saya kadang bisa mendapat perasaan demikian.
Bagi saya, jika perasaan saya sudah menentang, maka orang tersebut memang tidak layak bahkan untuk sekadar menjadi kenalan.
Baik, lupakan sejenak soal aura. Jika Mbak F ada di lingkungan saya, saya rasa saya akan dengan senang hati mengulurkan tangan sebagai tanda pertemanan. Karena, saya tau bahwa Mbak F punya sesuatu di dalam dirinya. Punya hal yang bisa saya pelajari kemudian.
Soal attitude? Sejujurnya, saya malah pernah dengan sengaja membentuk attitude yang tidak baik untuk diri saya di media sosial. Iya, dengan sengaja. Makanya, jika ada yang sudah kenal lama dengan saya lewat dunia maya, tidak jarang mereka yang akan bilang bahwa saya menyebalkan. Ada alasan di baliknya. Dan, mungkin Mbak F juga melakukan hal yang sama.
Saya baru menyadari beberapa waktu belakangan kalau saya jarang sekali menilai seseorang dengan, “Kamu baik, deh.”
Thanks to Instagram yang sudah membuat saya menyadari hal ini. Gegara “three facts about” yang sempat ramai di Instastories orang-orang dan membuat saya ikut-ikutan, saya jadi membuat perbandingan. Apa yang orang lain tulis terhadap seseorang yang dikenalnya seringkali mencantumkan kata “baik” di dalamnya. Namun, tidak dengan saya.
Saya lebih menyoroti apa saya yang dia bisa lakukan, bagaimana caranya menghadapi keadaan, bagaimana memenangkan hidupnya dari dunia yang kejam. Ya, semacam itu.
Kenapa demikian?
Mungkin, karena saya sudah terlalu banyak percaya dan kecewa. Kemudian, saya sadar sesadar-sadarnya bahwa saya tidak dapat bergantung pada “kebaikan” orang lain. Sebab, saya percaya bahwa di dalam diri setiap orang selalu ada dua sisi. Selalu. Biarpun, mungkin, salah satunya lebih tampak ketimbang yang lain.
Dan, apa yang tampak pun belum tentu merupakan yang sebenarnya. Bisa jadi, karena orang tersebut tidak ingin menunjukkan siapa dia. Atau, memang dia merasa bahwa kita bukanlah orang yang pantas untuk mengetahui kepribadiannya yang sebenarnya.
Dan, apa yang tampak pun belum tentu merupakan yang sebenarnya. Bisa jadi, karena orang tersebut tidak ingin menunjukkan siapa dia. Atau, memang dia merasa bahwa kita bukanlah orang yang pantas untuk mengetahui kepribadiannya yang sebenarnya.
Jadi, terlepas dari kasus Mbak F dan Om P yang semakin ke sini semakin membingungkan, mari kita tetap menjadi manusia-manusia yang sadar untuk tetap memanusiakan manusia.
Tabik!
Pertiwi
1 komentar
Pembahasan ini menarik! Bagaimana kita mulai tergelincir untuk menilai seseorang dari permukaan saja, antara baik dan jahat. Padahal semua manusia punya dua sifat itu secara bersamaan. Yang membuat manusia unik adalah apa yang bisa mereka lakukan. Dan sebaiknya, seperti yang kamu bilang, kita perlu menilai seseorang dari kemampuannya. Nice shoot!
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer