Bunuh! Bunuh! Bunuh!
Hai, Manusia, mengapa masih banyak di antara kalian yang belum dapat membuka mata? Untuk menerima beda yang nyata di hadapan kita. Untuk merangkul siapa saja dengan senyum ramah. Untuk tetap bersalaman walau beda arah.
Manusia, kita berbicara menggunakan indera, bukan pertumpahan darah.
Beritanya telah menyebar, tentang bagaimana sekelompok manusia menghilangkan nyawa manusia lainnya tanpa rasa berdosa. Pembenaran demi pembenaran terkuak ke permukaan. Ya, mereka masih meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang sah.
Lalu, siapa yang salah?
Entah. Namun, kemanusiaanku berkata bahwa dia yang kehilangan waktunya untuk hidup di dunia bukanlah yang bertanggungjawab atas semua.
Pandir ini mulai berpikir. Menyusun benang-benang yang kusut hingga dapat digunakan untuk membuat sebuah simpul. Diterima atau tidak, setuju atau tidak, sang Pandir hanya ingin menyampaikan apa yang telah dia temukan. Penemuan yang bisa jadi benar, dan bisa juga tidak.
Mengapa ada mereka yang berbondong-nondong menyuarakan kebenaran di atas kekejian yang telah mereka lakukan?
Bisa jadi, karena hal-hal keras macam itu sudah biasa mereka lihat. Sudah sangat umum terjadi di lingkungannya. Bukan lagi menjadi hal yang patut untuk dipermasalahkan. Bukan menjadi suatu masalah yang ramai seperti sekarang.
Siapa mereka?
Mungkin, mereka adalah anak-anak yang berusaha untuk mencari nyaman dengan caranya. Anak-anak yang muak akan kesehariannya yang penuh dengan pertengkaran. Mereka yang pada akhirnya menemukan ketenangan lain yang sama menyimpang.
Dari mana mereka?
Mereka adalah anak dari manusia-manusia yang menafikan keberadaan cinta. Anak dari menusia-manusia yang bergandengan karena keterpaksaan. Anak dari manusia-manusia yang seatap hanya demi memenuhi omongan dari mulut-mulut yang tidak bertanggungjawab. Anak dari manusia-manusia yang kecewa, tapi memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Mengapa demikian?
Masihkah harus dipertanyakan? Adanya hubungan-hubungan pernikahan yang tidak diinginkan, bisa jadi, merupakan salah satu peran kita. peran kita dalam banyaknya pertanyaan “kapan nikah?” yang terlontar. Pertanyaan yang meremukkan pertahanan hati dan pikiran banyak orang. Pertanyaan yang mendorong banyak lagi darinya untuk lepas dari keinginan dan kenyamanannya.
Bagaimana akhirnya?
Beginilah. Seperti apa yang banyak sekali kita lihat sekarang. Kekacauan dari mereka yang fondasi di dalam keluarganya tidak disertai cinta. Tidak diiringi dengan keikhlasan. Tidak pula dibarengi dengan hati-hati yang merendah.
Semuanya merasa menjadi korban. Semuanya merasa berhak atas kekerasan di dalam dirinya. Semuanya merasa benar. Sampai melahirkan mereka yang, sayangnya, harus tumbuh di tengah ketidakpuasan orangtuanya atas hubungan yang sedang dijalankan.
Kita semua adalah korban. Dan, kita semua adalah pendosa yang bertanggungjawab atas banyaknya kejadian-kejadian.
Jangan lari, jangan kebur, jangan menghindar. Mari berbenah. Bersama-sama. Mengecilkan sedikit ego demi kebaikan. Bukan hanya untuk satu atau dua, tapi banyak!
Jadi, bagaimana? Apakah apa yang ditemukan oleh sang Pandir membuatku tercengang? Atau, malah tertawa? silakan saja. Pandir ini hanya ingin menuliskan apa yang membuat hatinya terluka. Tentang bagaimana sebuah kejadian yang, bisa jadi, diawali oleh hampir setiap orang tersebut berujung pada kekacauan yang besar.
Jangan lagi, jangan kehilangan kemanusiaan yang kita punya. Perjuangkan kecewamu sampai di ambang batas. Agar, tidak ada manusia-manusia lainnya yang terluka.
Tabik!
Pertiwi
0 komentar
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer