Mendekati bulan Ramadhan, selalu ada ritual khusus yang tak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia. Pulang ke kampung halaman—atau yang akrab dengan sebutan mudik—untuk bertemu orang tua atau sanak saudara yang jauh dari kota perantauan selalu jadi ajang lepas rindu sekaligus silaturahmi yang menyenangkan di hari lebaran.
Namun, sebelum ritual tersebut terlaksana, biasanya akan ada drama yang menghampirinya. Yap, drama perburuan tiket transportasi untuk menuju ke tempat tujuan. Salah satu yang menjadi transportasi utama dalam hal ini adalah kereta. Maka, tiket kereta mudik dalam masa-masa seperti ini akan jadi primadona yang diperebutkan di mana-mana. Termasuk untuk saya dan keluarga.
Kamu sudah dapatkan tiket keretamu untuk mudik, belum?
Saya dan keluarga sudah cukup lama tidak mengunjungi sanak famili di kampung halaman dalam formasi lengkap. Iya, beberapa kali bapak sempat mudik untuk suatu urusan sendirian. Sementara yang lainnya tetap di Jakarta dengan urusan lainnya. Mungkin, jika dihitung, sekitar tiga tahun kami tidak pulang ke kampung halaman bersama-sama.
Sebenarnya, rindu juga rasanya. Terutama pada keheningan suasana desa dan juga dinginnya hawa di sana. Kampung halaman saya berada di daerah pegunungan yang ada di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah, Pacitan. Banyak pembaruan yang terjadi di sana semenjak seseorang yang berasal dari sana menjabat sebagai kepala negara. Jalan-jalan menjadi lebih mulus hingga dapat dipakai kebut-kebutan motor oleh anak muda setempat.
Untuk mencapai kampung halaman, transportasi yang paling menyenangkan untuk menghemat waktu dan menghemat pengeluaran adalah kereta. Dari Jakarta, kami bisa menggunakan kereta ke kota Solo, Jawa Tengah. Sesampainya di sana, tinggal menyambung bus dengan perjalanan kira-kira tiga sampai empat jam saja.
Sebetulnya, tanpa melakukan perjalanan lanjutan ke Pacitan pun sudah banyak sanak saudara yang dapat dikunjungi di kota Solo. Di kesempatan lain, saya akan lebih memilih perjalanan sampai di kota Solo saja. Sebab, memang sebagian besar sepupu saya tinggal di sana untuk urusan pekerjaan. Sementara, di Pacitan sendiri hanya tinggal beberapa sanak yang tidak begitu akrab dikenal. Namun, di momen hari raya biasanya memang Pacitan yang menjadi tempat untuk berkumpul oleh selutuh anggota keluarga.
Sejak beberapa minggu lalu, linimasa saya begitu ramai dengan mereka yang berebut tiket kereta. Entah itu dengan drama yang terjadi di loket stasiun, website yang menyediakan penjualan tiket kereta, maupun aplikasi-aplikasi serupa. Saya masih sibuk memerhatikan mereka sambil bertanya-tanya, “Emangnya lebaran kapan, sih? Kok udah pada ribut aja?”
Lebaran tahun ini, saya memang hanya menikmati keheranan terhadap orang-orang karena tidak mengecek sama sekali ketersediaan tiket kereta mudik seperti mereka. Sebab, hari raya tahun ini akan kami—saya dan keluarga—jalani dengan keadaan yang cukup berbeda daripada yang sebelumnya. Bapak terkena stroke ringan sejak Desember tahun lalu dan belum begitu pulih sampai sekarang. Maka, untuk melakukan perjalan mudik sepertinya harus diurungkan.
Mohon doanya juga, ya, untuk kesembuhan bapak. Semoga penyakitnya segera diangkat oleh Yang Maha Kuasa agar dapat beraktivitas kembali seperti sedia kala.
Oh iya, saya percaya bahwa di balik kemalangan selalu ada bahagia yang tersimpan. Tahun ini, saya bisa menjalani Ramadhan dan hari raya dengan orang yang spesial dalam hidup saya. Siapa? Calon, doain aja. Biar kalau ada tamu yang nanya “Kapan?” bisa langsung disodorin muka calonnya wkwkwk.
Tabik!
Pertiwi
1 komentar
Seru banget kalau bisa mudik. Memang kumpul keluarga terasa membahagiakan hati. Semoga bapak cepat sembuh.
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer