“Ibu heran, deh, setiap masuk
kelas sastra kok auranya suram terus, ya?”
Lagi dan lagi, komparasi antara
kedua prodi menjadi buah bibir. Entah mengapa, selalu ada topik yang dapat
diangkat untuk mengukuhkan bahwa prodi pendidikan lebih baik. Ya, prodiku berada
di tengah jurusan dan kampus yang penuh dengan stereotip basi.
“Kalian itu kalo pake baju yang
cerah-cerah gitu, lho. Biar lebih ceria, biar auranya lebih enak. Kayak anak
pendidikan itu, lho, bajunya warna-warni. Asal masuk kelas ini pasti gelap semua.
Ini juga, nih, yang cewek-cewek. Kerudung itu lipstik, Nduk. Jangan pake yang gelap terus.”
Pun perihal berpakaian. Kami
seolah tak diizinkan untuk menjadi diri kami karena tumbuhnya stereotip yang
melebar ke mana-mana. Seolah kami tidak tau apa-apa sama sekali, seolah kami
perlu digiring untuk mendapatkan jalan yang lebih baik.
Padahal, kami sudah memilih untuk
menjadi kami.
***
Mengingat dan melupa merupakan
kegiatan yang sedang sangat sering kulakukan. Mengapa melupa pun menjadi
pilihan? Ya, mungkin karena bagiku ada hal-hal yang perlu disingkirkan
sementara waktu pada momen tertentu untuk menyelesaikan hal yang lainnya.
Setelahnya, bisa dapat kembali seperti sedia kala. Menyederhanakan beban yang
ada di kepala saja. Untuk menghemat waktu agar tak habis dengan sia-sia.
Sedangkan mengingat, banyak
alasan untuk yang satu ini. Seringkali untuk membangkitkan semangat, meletupkan
gairah, atau untuk sekadar menyelamatkan diri dari rindu yang membuncah. Ada
banyak alasan, sangat banyak alasan, untuk mengaminkan kegiatan
ingat-mengingat.
Kali ini, ingatanku melayang pada
momen dua tahun lalu. Saat di mana kami sejurusan—baik dari prodi sastra maupun
prodi pendidikan—sedang disibukkan dengan berbagai macam seminar dari tiap
kelas. Sebagai sebuah syarat ujian akhir mata kuliah Keterampilan Berbicara
Interaktif, kami harus membuat seminar dan menghadirkan pembicara yang ahli
untuk bidang yang sudah kami tentukan. Menjadi salah satu momen yang tidak
terlupa pula karena di kesempatan itu aku dipilih menjadi ketua.
Sebetulnya tidak seberapa
menyenangkan menjadi ketua, tapi dari sana aku dapat mengetahui bagaimana
berharganya teman-teman sekelas. Kami adalah kelas yang paling sedikit dengan
jumlah kurang dari separuh jumlah kelas lainnya, tapi yang kusadari adalah kami
punya kelebihan masing-masing yang jika disatukan menjadi sesuatu yang sangat
kokoh untuk mengalahkan lainnya. Dan, ya, seminar kami berjalan lancar. Dengan
tajuk “SPEKTRUM: Seminar Penerbitan Karya
Sastra untuk Pemula”, seminar kami ramai dan memuaskan. Terima kasih,
teman-teman.
Masih ada rangkaian seminar lain
yang diadakan setelah seminar kelas kami selesai. Dengan bertemakan “Puisi dalam Media Massa Indonesia” jelas
cukup menarik minat banyak orang, termasuk aku dan beberapa teman dari kelas
sastra. Apalagi, pembicara yang dihadirkan adalah Adimas Imanuel dan Khrisna
Pabichara. Penyair muda yang banyak digandrungi anak-anak kekinian dan penyair
yang memiliki power luar biasa dari
puisi dan performanya. Ramai, tentu saja.
Namun hal yang sungguh
disayangkan bagiku dari seminar itu adalah pemaparan dari mahasiswanya. Sebagai
syarat ujian akhir, jelas saja kami—para mahasiswa—harus melakukan presentasi
hasil kajian kami terkait dengan tema yang diambil oleh kelas masing-masing. Dengan
tema yang bagus, peserta yang banyak, dan pembicara tamu yang luar biasa,
kurasa seminar itu cukup untuk dibilang gagal karena sebagian besar
mahasiswanya tidak dapat memaparkan isi kajiannya dengan baik.
Bukan hanya sekadar tidak dapat
memaparkan dengan baik, tapi… ngaco.
Sedihnya lagi, bidang kajian yang mereka pilih adalah ranah sastra. Jelas saja
kami yang dari kelas sastra meletup-letup dibuatnya.
Seorang mahasiswa mengkaji unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik sebuah puisi dari salah satu majalah anak-anak.
Untuk unsur intrinsik, masih berada di jalur yang aman. Namun ketika sampai ke
unsur ekstrinsik, aku mulai senyum-senyum gemas dan saling beradu pandang
dengan teman-teman dari kelas sastra. Ya, bayangkan saja, masa iya mengkaji
unsur ekstrinsik hanya menyebutkan, “Puisi ini dibuat oleh A, bersekolah di SD
Blablabla, kelas C, usianya D, tempat tinggalnya di Jalan E.” Lalu, selesai.
Sedangkan kami—mahasiswa di kelas
sastra—terbiasa merenung hingga rambut perlahan rontok untuk mengkaji demikian.
Harus tau sejarah pengarangnya, psikologis pengarang, kejadian apa yang terjadi
di tahun pembuatan karya yang mungkin ada kaitannya dengan karya tersebut, komparasi
dengan karya lain di periode yang sama, dan sebagainya. Tidak semudah itu.
bahkan seorang dosen sampai sering melontarkan jokes berupa, “Pikirin aja sampai botak bisulan.”
Kami memang seringkali heran saat
membaca skripsi-skripsi yang bertengger di perpustakaan jurusan, “Ini anak
pendidikan kok kajiannya kebanyakan sastra, ya?” Kami tidak mempermasalahkan
itu sebetulnya, selama eksekusinya baik. Tidak seperti kejadian di seminar itu
tadi.
Memiliki predikat sebagai
mahasiswa jelas bukan sesuatu yang sembarang. Ada bobot yang dipikul hingga tak
dapat seenaknya melenggang. Ada tanggung yang tak dapat dibiarkan tertunggang.
Ada jurang-jurang yang harus dilewati dengan tetap tenang. Dan, semuanya bisa
jadi hanya bayang jika kita—sebagai mahasiswa—hanya memikirkan perihal
bersenang-senang.
Maka itu, keilmuan merupakan
sesuatu yang wajib tersemat di antara predikat mahasiswa yang digunakan. Jika
tidak, tidak perlu repot berkoar. Sebab, kelekatan ilmumu pun masih tampak
samar.
Layaknya semen pada sebuah
pembangunan, ilmu merupakan kunci dasar sebuah predikat besar yang berawalan
maha. Seperti semen yang merekatkan batu bata dan bahan lainnya, segala aspek
kemahasiswaan bisa lenyap tanpa ilmu yang melekatkan. Seringkali hanya perihal
predikat, kemudian melupakan ilmu yang semestinya menjadi syarat. Kerap
bangunan dipuji keindahannya, tapi peran semen antara ada dan tiada.
Di dalam kehidupan masyarakat
modern, acapkali timbul persepsi yang menyatakan tak ada perkembangan yang
signifikan dari semen. Padahal, ada banyak perkembangan teknologi di balik
semen, terutama untuk semen
instan.
Semen instan itu apa, sih?
Semen instan, atau yang biasa
disebut dengan mortar, adalah adukan semen kering, pasir filler, dan bahan
aditif yang sudah siap pakai dengan menambahkan air. Jadi, kita tidak perlu
repot lagi membuat adukan semen dengan cara konvensional, sudah ketinggalan
zaman. Selain lebih praktis, formula dari semen instan ini pun dibuat
sesuai dengan kebutuhan teknis aplikasinya. Misal, untuk pembentukan lantai
akan berbeda dengan untuk pembentukan dinding.
Nah, sebagai market leader di industri mortar, PT Cipta Mortar Utama, menjadi lokomotif perubahan dan inovasi
untuk perkembangan semen instan. Salah satu unggulannya ialah Dust Lock Technology. Adanya teknologi
ini dimaksudkan untuk membuat adukan semen menjadi rendah debu. Sebagai orang
yang seringkali bermasalah dengan sistem pernapasan, jelas aku sangat suka
teknologi ini karena dapat meminimalisir terjadinya gangguan pernapasan.
Dust Lock Technology ini bekerja
dengan white oil yang terkandung di
dalam formulanya. Tanpa mengurangi performa dari kekuatan dan adukan semen, white oil ini akan mengikat partikel
kecil dan halus dari adukan semen tersebut sehingga mengurangi jumlah partikel
yang berterbangan. Itu artinya, lingkungan bisa lebih bersih dan sehat, dong.
Saat ini, produk semen instan MU-Weber yang
sudah menerapkan teknologi tersebut adalah MU-480
RenoFix LowDust, yang
merupakan perekat keramik di atas keramik. Selain mengecilkan efek debu
berterbangan, keunggulan lain dari produk ini adalah dapat mengganti keramik
tanpa harus membongkar keramik yang lama. Di era dengan tuntutan yang serba
cepat ini, menghemat waktu tentu sangat diperlukan, kan?
Tidak berhenti sampai di situ, MU-Weber juga menawarkan inovasi lain
di luar pengembangan produknya. Yap, untuk mempermudah pelanggan dalam
mengakses informasi, MU-Weber meluncurkan mobile application
MU-Weber yang berbasis
Android dan iOS. Bukan hanya sekadar menampilkan produk beserta deskripsi dan
harganya, aplikasi ini tampil jauh lebih lengkap demi kemudahan pelanggannya.
Karena pada dasarnya, MU-Weber bukan hanya berjualan, tetapi pun memberikan
edukasi kepada pelanggan.
Lagi-lagi soal edukasi. Lagi dan lagi perihal ilmu yang mesti ditanamkan di dalam diri. Jelas kan kalau pada tiap bidang sesungguhnya harus punya dasar? Yang pasti, tanpa harus menjadi orang lain dan menjatuhkan pihak yang berseberangan. Tetap damai dan jangan lupa belajar.
Tabik!
Pertiwi
23 komentar
Beranjak sari seminar kepuisian ke semen. Kupikir ini mau mainan majas. Taunya... Bahas semen betulan.
BalasHapusSebagai bakul semen instan saat ini, hambok ya skripsinya itu buruan di lepo ben bakoh. Ra dianggurke wae.. Hahahahahak.
Qo kzl y?
HapusUdah serius-serius bacanya dan manggut-manggut, terus... ah, sempak! Wahaha.
BalasHapusGue gak berani mikirin puisi lagi sampai segitunya. Cukup nikmatin aja. Terakhir kali coba merenungi itu, kepala langsung blank. :(
Soft selling-nya makin mantep aja nih. :)
Gue juga maunya gak mikirin, tapi gimana dong? Kuliah gue gituan wakakak
HapusMuehehe soft selling adalah koentji.
Menyebalkan, karena sedang menikmati tulisan. Langsung berubah tema bahasannya. Menyenangkan, karena sepagi ini sudah menemukan dua kesalahan.
BalasHapusEhehehehehe.
Mbak. Anak teknik sipil ya. Heheh... hidup semen! Anak sastra mikirin unsur ekstrinsik puisi sampe botak bisulan. Bisa gitu? 😂😂😂
BalasHapusTulisannya langsung berubah awalnua bingung. Tapi Dust Lock Technology MU ini keren aku aja sampai takjub hahah
BalasHapusHaahahaaa.. Sama nih disini juga bingung. tapi jadinya bisa komen. Kalau soal sastra ga bisa komen. Kalau soal Semen dan Apps nya bisa komen.
BalasHapusberikut ini komennya : Wah Semen MU itu punya app sendiri ya. Kalau semen instant sebelah kan kerjasama dengan salah satu marketplace ecommerce. Ini deh contohnya https://www.youtube.com/embed/nutcseM9Yus
Salam kenal mba Tiwi.. kemarin aku juga lihat info tentang MU Weber.. ku kira Manchester United ternyata semen instan a.k.a Mortar heheh
BalasHapushahahaha mbak tiwi artikelnya
BalasHapusTerkadang, menjadi diri sendiri memang butuh waktu, Wi. Akupun demikian.
BalasHapusTapi, mau orang berkata apapun, aku akan tetap jadi diriku sendiri, meski salah *ea
Peralihann bahasannya alus banget, soft sellingnya makin jago nih wi.. Dimulai dengan pembahasan soal puisi, dibahas terus lewat cerita cerita yg menyeret pembacanya fokus ke tema puisi, ketika sudah nancap dalam, eh tiba-tiba dialihkan bahasan jadi soal semen ..
BalasHapusYa secara tidak langsung, soft sellingnya swmwn mortar itu langsung nancap di benak para pembaca..
Memang benar kata dosenku dulu, tiada masalah ketika dua orang punya satu tema gagasan yang sama, tapi toh pada nantinya tiap kepala punya isi yg berbeda. Dan ini adalah salah stu buktinya... Hari ini aku baca beberapa tulisan soal mortar ini, tpi ya semuanya berbeda gaya. Ada yg langsung to the point ke pembahasan produk, ada yg lewat cerita lain..
Menurutku sih lebih baik penuturan produk lewat cerita kayak gini, jika sekiranya sudah pernah menggunakan produknya, akan lebih bijak jika menceritakan soal pengalaman memakai itu produk )))
wahb inovasi baru nih mengenai semen dan ada aplikasinya lagi yang mana kita mengenai product dan harganya secara lengkap hanya melalui hape saja
BalasHapushahaha... udah baca serius mbak, mau ngasih solusi permasalahannya, lalu tiba-tiba kaget ada urusan persemenan, hahaha
BalasHapuskeren mbak
Dulu saya pengen kuliah jurusan sastra. Tapi ndak dibolehin sama ortu karena katanya ntar cari kerjanya susah. Duh, nyesel =(
BalasHapusBridgingnya keren, btw =)
Ah dosen kamu kok Gitu Wkwkw. Dulu aku sih ga pernah ada komentar macam Gitu dari dosen. Cuma Emang gaya kami beda sekali. Anak pendidikan rapi, sastranya ya Gitu Lah, ekspresif haha
BalasHapusWalaupun suka sastra, tp kalau nyukili isi puisi males bgt. Untung bkn anak sastra, bahahah. Untuk MU Webernya, jd pengen liat aplikasinya kaya gimana
BalasHapusAnak sastra serius mulu ya, kelihatnnya. Walaupun beda, membuat ikatan itu sah2 aja, spt semen instan
BalasHapusLagi mikir apa hubungannya sastra dengan semen. Hehehe..
BalasHapusawalnya saya berpikir tulisan ini tentang kehidupan mahasiswa, dan gak taunya ending dari tulisan ini adalah tentang semen, tulisannya bagus, membuat dugaan saya menjadi salah :D
BalasHapusTiwiii.. Aku baca intro-nya brhrap akan dibawa melayang ke bbrapa thun silam saat masa2 kuliah, tp aku agak rancu kok judul sm isinya beda, apa aku yg slah baca, trnyata endingnya si mortar semen instant.. Hhee
BalasHapusGudjob yaaa cantiik
Aku suka cara mengaitkan bahasan di awal dengan bahasan berikutnya 😁
BalasHapusBtw semakin penasaran dengan 'wujud' semen instan yang dapat mengganti keramik tanpa harus membongkar keramik yang lama 😱
aku mungkin ga bakal bisa mikirin cara menulis yg sangat halus seperti ini,. dari sastra, bisa dialihin mulus ke semen :D.. kamu ahlinya memang mba ;)
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer