Kopi Flores with French Press from Kanal Kopi |
Bagaimana bisa kita
mengawali akhir yang tak pernah dimulai, Tuan? Sebab untuk menatap matamu saja,
aku perlu berjuta spasi yang harus kujaga rapi. Bagaimana bisa? Jika
menggapaimu saja hanya mampu menjadi ambisi. Karena untuk menggenggammu, aku
perlu mengenyahkan kecintaanku akan jarak yang terbentang luas. Sebab untukmu,
aku masih belum dapat menjelma mula yang pantas. Sebab itu, rasaku tidak
bergerak bebas.
Hujan!
Seketika senja tak lagi
jingga, awan bersenandung isak mendung. Di sana, aku berlari dengan gumam lirih
akan jerat yang begitu perih. Sesaat, sempat pula aku merindu langit yang
membiru. Namun ternyata, sekadar rindu tak dapat mengubah asaku akanmu. Dia
tetap temaram di tengah sepi yang terus bungkam. Masihkah benar adanya bahwa
yang lebih hening dari diam adalah cara terbaikku mencintaimu dalam-dalam?
Sebuah lonceng berbunyi
ketika aku membuka pintu dari sebuah kedai di pinggiran ibukota senja itu. Ya,
dan aroma kopi dengan serta merta menyeruak memanjakan indera penciumanku. Tak
heran jika banyak orang tersihir oleh biji hitam itu. Suasana coklat muda
dengan ornamen kayu menyambutku yang masih terpaku di ambang pintu. Dengan
pakaian yang sedikit basah, aku tampak begitu kaku untuk melangkahkan kakiku
masuk ke dalam situ.
“Masuk aja, Mbak, gak
apa-apa,” ucap sang barista dari balik meja bar.
“Oh, iya. Terima kasih,”
balasku dengan usaha keras menarik ujung-ujung bibirku untuk membentuk sebuah
senyum yang layak untuk tampak.
“Meja yang biasa masih
kosong kok, Mbak. Masih sepi.”
Ya, masih sama seperti dua
tahun lalu, Tuan. Aku masih terus menginjakkan kaki di tempat yang sama, duduk
di meja yang sama. Meja yang dahulu menjadi tempat favoritku untuk menatap
wajahmu yang dengan khidmat menyesap pekat dalam cangkirmu. Walau telah berbeda,
kamu tak lagi menjadi suara lonceng yang menggugah selera saat pintu itu
terbuka. Kepergian yang entah ke mana dengan sisa luka yang terus menganga. Aku
hanya dapat menatap jendela dengan sisa garis vertikal dari bulir hujan yang
hinggap di kaca. Ada sesal di dalam sana.
“Hot cappuccino kayak
biasa, kan, Mbak?” tanya barista tadi, membuyarkan lamunanku akanmu.
Mocca Coffe from Kanal Kopi |
Bosan. Kelembutan dan
keindahan dalam secangkir hot cappuccino yang selalu kuhidu
nyatanya tidak mengantarkanku pada sapa dari tawa. Sendu masih terus memikat
aku. Gambar hati di atas cangkir itu terlalu sempurna untuk kenyataan yang
sudah koyak di mana-mana. Jadi, haruskah lagi aku bersembunyi di balik
keindahan yang sekadar semu semata?
“Hm, enggak, deh. Mau yang
beda. Kopi yang baru hari ini apa, ya, Mas?” tanyaku.
“Ada kopi roasting terbaru,
nih, Mbak: arabika Toraja.”
“Boleh, deh, Mas. Saya
pesan satu, ya.”
“Mau pakai cara penyeduhan
apa, Mbak? Saya saranin, sih, tubruk aja.”
“Kenapa tubruk, Mas?”
“Kalau tubruk, kita bisa
menikmati rasa dan aroma kopi yang asli. Lebih lugu dan sederhana, Mbak, tapi
sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam. Kontras dengan apa yang
biasa Mbak pesan. Kopi tubruk tampak tidak memedulikan penampilan. Seolah tidak
memerlukan skill khusus untuk membuat kopi dengan tekstur yang
kasar dan sangat cepat itu. Namun, tunggu sampai kita dapat membaui aromanya.”
Aku tersenyum. Tanpa perlu
usaha keras untuk menarik ujung-ujung bibirku. Barista yang sudah kulihat
beberapa tahun terakhir di sini rupaya cukup fasih dalam mendeskripsikan kopi.
“Oke, Mas, saya pesan yang itu aja.”
“Oke, Mbak, tunggu
sebentar, ya.”
“Iya, Mas. Terima kasih.”
Barista itu berlalu,
punggungnya menjauh menuju balik meja bar di samping pintu masuk. Sedangkan
aku? Kembali melayang dalam lamunanku akanmu. Kita yang memang tak pernah
sedikit pun menapaki mula, kenapa harus sebegitu perihnya? Senja sudah berlalu
dari angkasa. Malam merangkak dengan sisa awan hitam yang masih terbentang
luas. Kemudian, ada sesal yang kembali menyeruak keluar.
Sialnya berada di dalam
dekapan patriarki dan terpaksa mengikuti aturan dari kaum yang begitu kolot ini
adalah mengabaikan idealisme pribadi. Ada takut yang membuat niat untuk
menyapanya mengerut. Hingga akhirnya, aku terlambat menghentikan perginya yang
entah ke mana. Mungkin, belum saatnya ada bahagia sesungguhnya yang kusambut.
“Silakan, Mbak, kopinya,”
ucap barista tadi. Ya, dia kembali membuyarkan lamunanku akanmu dan
menghentikan ketukan-ketukan jariku pada meja bulat berwarna coklat itu.
Kutatap cangkir kopi yang
tersaji di hadapanku.
Hitam.
Jalan menujumu, masihkah
sepekat ini, Tuan?
“Mbak pertama kali coba
yang ini, kan? Sebelum dicoba rasa kopinya, Mbak bisa cium dulu aroma kopinya,”
lanjutnya memberikan instruksi yang—entah mengapa—dengan serta merta kuturuti
saja.
Aku mulai mendorong ampas
yang mengambang di atas cangkirku dengan sendok yang telah disediakan dan
mendekatkan ujung hidungku pada cangkir itu. Hmm… aroma earthy yang
khas.
“Gimana, Mbak?”
“Aroma yang didapat dari
kopi ini apa aja ya, Mas?”
“Kopi arabika Toraja ini
menghasilkan aroma buah, Mbak.”
“Hmm… Iya, Mas, ada aroma
buahnya.”
“Nah, good.
Sekarang coba rasakan kopinya, Mbak.”
“Untuk rasa yang didapat
dari kopi ini apa, ya, Mas?”
“Kopi ini menciptakan rasa
buah dan rasa asam yang khas dari kopi Toraja. Tingkat keasaman dari kopi
Toraja ini cukup tinggi. Banyak yang bilang kalau kopi Toraja ini mirip sama
kopi Sumatera, Mbak, tapi kopi Toraja jelas punya ciri sendiri yang tentunya
beda dengan kopi lainnya.”
Perlahan tapi pasti,
kusesap perlahan pekat hitam dalam cangkirku, “Hmm… Iya, untuk rasa asam dari
kopi ini sangat terasa.”
Dia tersenyum menatapku,
“Selamat menikmati, Mbak.”
“Oh, iya. Terima kasih,
Mas. Saya suka.”
“Sama-sama, Mbak. Ini 50%
berkat petani yang menanam kopi, 40% yang menyangrai biji kopi, saya cuma
kebagian 10% buat eksekusi aja, Mbak.”
“Senandung, panggil Nana
aja jangan Mbak lagi,” aku menyodorkan tanganku, memperkenalkan diri.
“Oh, oke. Saya Artha,”
katanya menyambut tanganku dengan jabatannya. “Balik dulu, ya, Na. sekali lagi,
selamat menikmati.”
“Iya, terima kasih.”
Tumben dia sendirian, waiter-nya ke mana?
Artha kembali pergi.
Meninggalkanku yang tetap bercinta dengan sepi. Masih dengan harapan yang
timbul tenggelam akan orang yang tak juga dapat kuraih. Sedih. Tapi, luka hanya
akan menyayat sedalam yang kita izinkan, bukan? Dan, setiap hamba memiliki
kuasa untuk bahagia.
Sesungguhnya, Tuan, aku
tidak terbiasa menikmati pahit. Bukan sepertimu dan kopi Flores favoritmu.
Namun, indera perasaku sama sekali tidak menolak hadirnya pahit yang berkuasa
atas rongga mulutku. Dia seakan melebur dengan rasa yang semakin hambar. Mereka
membaur, membuat sebuah koloni yang merombak aku dengan cara yang begitu
barbar.
Aku tersenyum.
Masih menatap kepekatan di
hadapanku.
Masih dengan bayangan kamu
di kepalaku.
Masih dengan keentahan yang
terus kusemogakan sejak pertama kali melihatmu.
Tapi, Tuan, logikaku mulai
mengaduh. Mempertahankan yang begitu entah atau melepaskan gundah? Jika hati
tak lagi turut campur, tentu aku akan dengan mantap memilih yang kedua. Tapi
bagaimana? Kemampuanku berkehendak seakan turut pergi bersama bayangmu yang
semakin gelap.
Tuan, aku masih menjadi
pandir yang dicerca cibir. Sudah habis hati terkoyak dengan logika yang teramat
kikir. Masih saja kamu dan kamu lagi yang menguasai pikir. Lucunya, bahkan aku
tak mengetahui namamu untuk sekadar kuukir. Baiknya, kamu pergi dari benakku
tanpa kuusir. Bisakah, Tuan?
Malam dan gabak masih
beradu. Tiada yang lebih pilu, tiada yang sanggup menjawab tanyaku. Kubuka isi
dalam tasku dan kubuka sebuah buku.
Kosong.
Dan pena dalam genggamanku
mulai mengukir beberapa baris kata:
Kumasih
berkelindan dengan luka lama
Mengais
sisa kamu yang tertuang dalam puisiku
Masih
juga abai pada logika yang mencoba bertahta
Sebab
dosa masih merengkuh aku dalam peluknya
(Senandung, 19.28, 06/16)
Hhh…
Aku menghela napas panjang.
Hebatnya puisi, selalu bisa
mengembalikan energi yang sempat pergi. Hal yang paling setia menemaniku yang
meragu bersama sepi dan sembilu.
Samar-samar mulai terdengar
alunan lagu dari band favoritku, Efek Rumah Kaca, dengan lagunya Jatuh
Cinta Itu Biasa Saja. Aku mencari sumber suara, kudapati Artha yang
menatapku di sana. Lagu yang dipilihnya menusukku begitu telak. Kurasa, bukan
hanya perihal perkopian yang bisa dikuasainya, tapi juga dengan gerak-gerik
pengunjung yang datang ke kedai kopinya. Aku kembali tersenyum. Setidaknya, aku
mulai bisa berdamai dengan rasa pahit di dalam dada.
Kembali pada cangkir
kopiku, masih tersisa pekat yang harus kuselesaikan. Tidak begitu buruk. Ya.
Sebab ternyata, kehilanganmu tak lebih pahit dari secangkir kopi yang baru
kurasakan. Aku hanya terlalu munafik untuk membuka mata dan telinga. Sebab aku
terlalu terpaku pada kepergian orang yang entah siapa.
Pukul 20.27, saatnya mulai
menutup hari yang biru dengan pergi dari tempat itu. Kuhampiri Artha yang masih
sibuk melayani pesanan di balik meja barnya.
“Hei, berapa semuanya?”
“Ah, sudahlah.
Sekali-sekali kasih kopi gratis untuk pelanggan setia.”
“Wah, how lucky I
am!”
“Yes, you’re a lucky
girl. Ini buat kamu,” katanya sembari menyodorkan secarik kertas.
Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit.
Aku kembali tersenyum, mengucapkan terima kasih, dan beranjak pergi.
Dalam lelahku, kaubangkitkan aku menuju
benderang yang nyata. Sebagaimana secangkir kopi yang selalu membuatku terjaga.
Kemudian pada kepulan hangat itu, aku membaui bahagia. Pada pekat yang khidmat,
kaumasih enggan mengikat. Sebab bagimu, kaubukan sesiapa yang pantas menjerat.
Kemudian…
Aku sudah punya calon rujukan lain untuk klitik
{-mu} milikku.
Aku punya kamuku.
Yang bukan lagi kamu.
TAMAT.
* Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen #MyCupOfStory yang diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
* Referensi:
- Komunitas Kopikoe (Komunitas Pencinta Kopi Noesantara)
- Filosofi Kopi by Dewi 'Dee' Lestari
- Kedai kopi favorit: Jung Coffee dan Kanal Kopi
155 komentar
Bagi orang Madura kopi tak akan lepas dari rokok, di mana ada kopi selalu ada rokok; begitu sebaliknya. Salam sukses untuk lombanya.
BalasHapusDi kampusku juga gitu hehehe
HapusAamiin. Terima kasih banyak, Mas.
Suka banget sama gaya penulisannya mbak Tiwi.
BalasHapusfolosofi Kopinya keren....
good luck ya mbak...
Terima kasih banyak, Mbak. Aamiin. :)
HapusTulisannya yang entah kenapa sebegitu bagusnya membuatku ingin menghapus semua apa yang sudah aku tulis dan aku ikutkan juga dalam lomba ini.
BalasHapusDari pemilihan diksi-diksinya membuat para pembaca larut dalam setiap jengkal kata, larut dalam suasana kedai kopi tempat bekerja Artha, seolah-olah pembaca ada di sekitar mereka dan ikut mendengarkan secara langsung..
Sekiranya, jika aku salah satu jurinya, mungkin aku akan memilih tulisan ini sebagai salah satu dari ketiga pemenang hadiah utama.
Dan btw, aku kaget aja pas kamu bilang "aku sesungguhnya gak ngerasa maksimal". Ya gimana gak kaget, jika kamu gak ngerasa maksimal aja sudah sebagus ini, lalu bagaimana jika kamu merasa maksimal?
Sekiranya aku pun bingung, bingung mau mengkritik apa wi, sebatas pengetahuanku ini sudah bagus, sangat bagus, dari segi pemilihan diksi, dan gaya tulisan. Tapi entah bagaimana juri menilainya. Semoga saja ini menjadi salah satu dari ketiga pemenangnya.
haha mungkin ya sedikit saran saja wi, untuk terus mempertahankan gaya tulisannya, gaya penjabaran suasana latar ceritanya, dan juga pemilihan katanya.
Tiada hal yang sempurna di dunia, yang sempurna hanya milik Sang Pencipta, Andra and the backbone, dan Demian tentu saja.
Semoga menang wi.
Salam hormat dari tim hore-hore :D
Mas Fan, kamu terlalu memuji aku. Nanti aku geer gimana :(
HapusAamiin. Makasih lho ya komen panjang lebarnya. :D
hahaha ini bukan memuji wi, cuma mengatakan apa yang perlu dikatakan saja.
HapusSekiranya tulisan bagus ya emang bagus, haha
Tugasmu sekrang tinggal mempertahankan gaya bahasa, diksi, dan pemilihan suasana yang berbeda, anggap saja sebagai latihan untuk membuat dan menambah cakrawala sudut pandang cerita yang lebih baru :D
Yap, aku catat pesannya. Makasih! :D
HapusSelalu hebat tulisannya Mbak Tiwi,
BalasHapusSukses Mbak untuk lombanya
😉
Aamiin. Terima kasih, Mas. :)
HapusBagus itu tulisannya, semoga menang yaa.😁
BalasHapusAamiin. Terima kasih, ya. :3
HapusUntuk yang didera rindu teramat tapi tetap berusaha kuat.
BalasHapusTulisannya menginspirasi, bukan cuma untuk minum kopi (haha) tapi juga tuk kuatkan diri.
Dan aku suka tulisan yang menguatkan. Semoga sukses Tiwi! ��✊
Alhamdulillah kalau bisa jadi inspirasi, atuhlah padahal masih ngerasa banyak yang kurang ini, Him. :(
HapusAamiin. Makasih ya, Himma. :*
Suka banget bagian "Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit".
BalasHapusSemangat Tiwi. Good luck ^.^
Aku juga suka bagian itu hehehe
HapusAamiin. Makasih, Kak! :D
"...Lebih lugu dan sederhana, Mbak, tapi sangat memikat kalau kita mengenalnya lebih dalam...."
BalasHapusSeperti pernah baca ini. Filosofi Kopi Dee Lestari? :/
Iyap, itu jadi salah satu referensi. Nanti aku tulis detailnya di post, ya, dapat referensi dari mana aja. Makasih ya, Kak. :D
HapusDiksinya itu loh :") hahaha
BalasHapusSukses ya tiwiiii :D Sukaaaa :)
Aamiin. Makasih, Kak. :D
HapusAda kopi rasa jeruk ga?
BalasHapusBoleh dund kalo ada
Pernahnya dapet rasa nangka, pas bikinnya pake syphon. Kalo jeruk, coba tanya Afika.
HapusSelalu saja setiap ada tulisan yg bercerita tentang kopi mau dipadukan dgn gaya penulisan sperti apapun tetap saja menarik untuk saya.. Diracik dengan kebimbangan atau kegalauanpun yg namanya kopi tetap akan membawa kebahagiaan buat mereka yg bisa menikmatinya, apalagi dibuat dengan cinta sudah pasti jadi sesuatu yg luarbiasa dsetiap rasa tulisannya juga dsetiap sruputannya..
BalasHapusKopi adalah salah satu dari kenikmatan yg Tuhan kasih untuk kita, jadi kalau kita gak ngopi berarti kita sudah membuang satu nikmat yg Tuhan kasih untuk kita..
Mari lajutkan ngupinya, asalnya tetap ngupi dengan bijaksana..
Semangat tiwi trus nulisnya yaaa.. Juga ngupinyaa.. \m/
Tjieeee dikomenin sama ketua komunitas pencinta kopi nusantara azeeq~
HapusSapa dah sapa.. Mana orangnya manaaa... :D :D
HapusUdahlah gosah sok gak tau, ah.
HapusJadi penasaran sama kopi. Akan kah dia semacam cinta yang menjelma dia? Love this memoar
BalasHapusCobain, Dhin, tanpa gula. Enak deh beneran.
HapusNama: Yosfiqar Iqbal
BalasHapusKelemahan: Menganggap tulisan ini karya Dee Lestari =)
Yah, beda padahal :(
HapusDan akunpun dibawa terhanyut larut dalam untaian kata-kata indah ini. Seakan aku bisa turut merasakan kopi arabika Toraja. Hari masih pagi, waktu yang tepat untuk menikmati secangkir kopi hangat.
BalasHapusAhhhhh suka banget sama tulisannya. Semoga menang ya. Terus nikmati pelesir ke Toraja. Aamiin
Aamiin. Terima kasih, Mbak Dian hehehe
HapusTulisan yang bagus... untuk cup of my story, ya.
BalasHapusSemoga memang hingga terangkut di buku ya. Aku suka gaya cerita dan apa yg kamu ceritakan informatif & naratif.
Aamiin. Terima kasih, Mbak Susi. :3
Hapus"Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit."
BalasHapusIni apa-apaan. Kok pas banget. Hahaha..
Tapi kok aku ingin menimpali juga. Bagaimana dengan pencinta teh? Bukankah teh juga pahit? :D
Semangat lombanya tiw!
Bhahaha aku juga paling suka yang bagian itu.
HapusKalau teh itu ada khasnya sendiri-sendiri gak sih tiap daerah?
Secangkir kopi sejuta prestasi
BalasHapusUopoooo toh, Pak, uopoooooo
Hapusmantaps.. bagus tulisannya. Mampu memberikan pengetahuan tentang kopi ditengah2 roman. Kayak AADC hihi
BalasHapusBahasanya juga bagus, sebagai orang awam dan umum harus pelan2 bacanya biar bs menikmati setiap katanya.
semoga sukses dan memang lombanya yaaa. Aamiin
Aduh jauhlah sama AADC mah hehehe tapi makasih, ya.
HapusAamiin. Semoga mbaknya juga sukses dengan apa yang dikerjakan. Aamiin.
Jadi ikut ngebayangin menghirup kopi aroma buah, terus bertanya aroma buah apakah?
BalasHapusBagus mbak tulisannya. Sukses ya! :)
Sebagai orang yang masih awam di bidang kopi sih yang aku cium baunya asam gitu, belum peka banget. Tapi kuakan coba terus wkwkwk
HapusAamiin. Makasih ya, Mbak. :D
bahasanya dalem..
BalasHapusmemberikan banyak pengetahuan tentang kopi..
semoga sukses Mbak..
saya juga pecinta kopi 😉
Aamiin. Terima kasih ya, Mbak. Jangan lupa ngopi hehehe
Hapussorry aku malah fokus sama kopinya,
BalasHapusaku sendiri kadang suka bingung perbedaan kopi2 di nusantara, tapi kalau pecinta kopi pasti tau bedanya kopi2 di nusantara ini
Iya, lidah dan hidung mereka sudah terlatih wkwkwk
HapusKeren banget wiiii. Deskripsi kopinya bagus. Btw aku udah pernah coba kopi toraja dan itu enaaaak :3
BalasHapusMakasih, Tiw. Hehehe
HapusAku malah belum pernah, nih. Heu.
Wahh kopi flores..
BalasHapusmanis Ntiw cerpennya :)Ini bukan curhat kan? *eh gimana?
Dikomen wanita hitz Flores aw~
HapusMakasih, Kak Ajen. :*
Bukan, kok, bukan curhat. Dikit, sih. Ah, bukan kok. :p
Favorit Ku Kopi gayo tiw! Pahit-asam yg pas kaya lika-liku kehidupan #eh
BalasHapusSelalu ada cerita ya di balik secangkir kopi, sama seperti kisah Ku dengannya dibalik Kopi tubruk yang disesap di warung kopi *eh*
Kemarin malam kuminum kopi gayo, walah pahitnya mantap sekali hahaha
HapusKak, curhat? :3
Kalau ga ada kalimat 'Tulisan ini Diikutlombakan' mungkin kupikir ini cerita nyata alias curhat, Mba Tiw. Hahaha.
BalasHapusTulisannya bagus, mengalir, kaya akan diksi. Mungkinkah akhirnya Artha akan mengganti Tuan di hati Nana? Hahaha aku jadi pengen tau kelanjutannya *eh emang ada?
Semoga menang, Mba Tiw! :)
InsyaAllah nanti kalau ada mood bagus kubuta lanjutannya, Kak Ayi. InsyaAllah hehehe
HapusPemilihan kata gaya bahasanya nendang banget..pecah di mata ngebom di kepala..mantap nian tulisan kak tiwi ini..no comment about coffee...udah berasa walau nda minum
BalasHapusHiperbola hahaha tapi terima kasih banyak, ya, Om.
HapusCerita tentang kopi selalu menarik. Mengalir kengahatan dan keharuman aroma kopi ketika membacanya. Sukses untuk kontesnya
BalasHapusYes, Kopi memang inspirasi yang begitu apik.
HapusAamiin. Terima kasih, ya.
Tadinya sih aku mau mengakhirkan kunjungan hari ini di sini. Tapi entah kenapa ada daya tarik untuk harus disegerakan. Dan saya tidak menyesal.
BalasHapusSaya sedang menulis, membaca tulisan ini saya jadi malu melanjutkannya, butuh banyak sekali perbaikan rasanya.
Duh, wi. Kamu ini nulis beginian berapa lama? Kaya yang aku bilang sebelumnya, tulisan kamu itu sederhana tapi keren untuk dibaca. Gak berbelit belit. Banyak sekali rima yang pas yang natural, kaya ga dibuat-buat.
Ah, ajari aku lah
Duh, Om Andhika bisa aja hehehe
HapusAku buatnya kurang dari sehari, sih. Biasanya kubuta cerpen satu setengah bulan. Makanya aku merasa cerpen ini gak maksimal. Pun pengetahuan tentang kopi yang masih minimal. Huft, rasanya ada sesal. Setahun lebih gak nulis fiksi, hasilnya cuma begini. :(
Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit.
BalasHapusIni kutipan terbaik, dan aku pikir ini sebuah kode dari Artha untuk Nana. Aku setuju sama Ayi. Ini cerita harus dilanjutin.
Aku juga paling suka bagian itu hehehe
HapusIya, kode. Eaak~
InsyaAllah nanti kalau ada mood dan sudah tambah pengetahuan soal kopi, ya.
asyik benar mengikuti rangkaian kalimatvmbak Tiwi ini. hot cappuccinonya mengingatkanku ke seseorang yang kupanggil mr.cappuccino :D
BalasHapusTjieeee siapa, tuh? Hehehe
HapusBolehkah Saya berkenalan dengan Artha? Aku suka baca tulisannya, berharap one day bisa nulis kayak gini juga.
BalasHapusKalau Artha itu nyata, aku juga mau, Kak Rin hahahaha tulisan ini sederhana kok, Kak. Bisalaaah~
HapusKepada dia yang ku cinta, kepada dia yang tak bisa ku gapai.
BalasHapus-mia,2016-
Pedih ya bagi mereka, yang mencinta namun tak bisa memiliki. Hendak mengakhiri padahal belum ada permulaan.
Hendak pergi, tapi belum sampai ketempat tujuan.
Bingung.
Bagaimana kelanjutannya? Haruskah mengikhlaskan sesuatu yang sulit diikhlaskan?
Merenungi kala bersama hanya bisa membuat pilu hati, yang hanya bisa diobati oleh waktu yang terus berganti.
Kok malah curhat😂😢😢😢 karena sejujurnya, tulisan ini sejalan dengan cerita daku saat ini.
Sukses,ntiiw
Dilarang curhat di lapak orang! Wakakaka
HapusAamiin. Thanks, Mia. :*
Begitu banyak orang yg terinspirasi dengan kopi... Dari rasa kangen atau kesel.. Dengan kopi bisa menyeruak keluar kata-kata dari imajinasinya. Nana... Kamu keren.. :D
BalasHapusYap, kopi memang uwuwuwuw sekali ya~
HapusPenggambaran yang menginspirasi. Aku bukan penyuka kopi, tapi pasanganku pecinta kopi. Semoga dia mengerti bagaimana menikmati pahit, sehingga bisa selalu membimbingku.
BalasHapusEh malah curhat he he he... sukses dengan lombanya ya ^_^
Aamiin hehehe
HapusTerima kasih doanya, Mbak. Aamiin yaa Rabb.
Cara berceritanya real sekali mbak.
BalasHapusSaya diawal menyangka ini betul2 kisah mbak, karena cara penyampaiannya betul2 seperti curcol, eh ternyata cerpen ya.
Semoga menang ya mbak :)
Ada curcolnya, sih. Eh. Ada Ufo, Mas. Ngiiiiing~
HapusSuka sekali dengan pemilihan katanya 😆 seolah dibuat ikut menghirup aroma kopi yag disajikan (*˘︶˘人)
BalasHapusHehehehe semoga bisa menikmati ya, Mbak.
HapusTenggelam
BalasHapusBodo amat! Sukurin! Gak peduli!
Hapus"Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit."
BalasHapusSukak sama quote itu.
Meski suamiku bukan pencinta kopi, melainkan teh. Tapi teh kan juga bisa pahit juga. Jadi aku tetep cinta. Hahahaha... Analoginya maksa ya.
Muehehehe iya, sih, ya. Tapi mungkin kopi lebih artistik untuk dijadikan bahan penceritaan.
Hapusselesai baca jadi langsung pengen ikutan ngopi nih hehe, jadi penasaran kalau ada lanjutan ceritanya.. sukses ya mba untuk kompetisinya :)
BalasHapusYuk kita ngopi!
HapusOrang ketiga yang minta lanjutan. Yak, insyaAllah ya hehehe
Aamiin. Terima kasih, Mbak.
Oke sesuai saran mbak tiwi aku tak mencintai pecinta kopi heheh..
BalasHapusMbak btw sebenernya tadi pagi aku udah baca ini dan rasanya mau dan mau baca lagi. Mungkin aku terlalu tergerus arus pahitnya kopi toraja yang nyatanya lebih bisa diharapkan keberadaanya. *halah*
Btw lagi semangat mbak tiwi semoga menang sukses ikut lombanya. Pun bagiku tulisan tulisan mbak tiwi ini "menang". Aku suka ♡
Haduh banyak yang baper hahaha
HapusAduh aamiin. Terima kasih banyak ya, Mbak. Hehehe
Sukaaaa
BalasHapusJd ngiri krn aku sering kesusahan nulis ttg kopi. Krg suka sih
Enak, lho! Ayuk ngopi~
HapusLeh uga ni :D
HapusSaya sangat suka dengan tulisannya, apalagi temanya tentang kopi. Orang yang suka kopi biasanya sudah terbiasa merasakan pahit apalagi pahitnya kehidupan di dunia :)
BalasHapusBiasanya, ya. Hehehe
HapusAnjirrr.... ((Nana))
BalasHapusWakakakak.
Btw, ini buat lomba atau apa, sih? Bagus tokhay! Apalagi tentang barista yang tau menikmati pahit. Keren diksinya. Menanglah ini. :))
Kenapa? Inget mantan? Bhahaha
HapusLomba, Yog, dari Nulisbukudotcom.
Aamiin. Thanks, yaa~
Cerpennya bagus Mbak Tiwi. Moga menang ya!
BalasHapusBtw kalau saya lebih milih kopi dgn banyak gula ketimbang rasa original hehehe
Aku gak begitu suka manis sih memang pada dasarnya hehehe
HapusAamiin. Makasih ya, Mbak hehehe
sukaaa bacanya, jd ikut terhanyut dlm hati terkoyak oleh kopi ❤️❤️
BalasHapusYah rusak dong kalo koyak :(
Hapus
BalasHapus50% 40% dan 10% pembagian yang cukup adil ya. Sementara artha sang eksekutor mampu menyempurnakannya dengan baik.
Good job artha :)
Artha memang idolaku :3
HapusAlur ceritanya bagus banget jadi senang membacanya. Kopi memang enak buat mengisi hari hari yang cerah maupun mendung. Semoga dalam lombanya yaa kak
BalasHapusBetul sekali! Aamiin. Makasih, ya, Mas. :D
HapusDuj sesama pecinta kopi, kadang kesyahduan kerap menggelayuyi alam pikiran dan menyeruputnya dari balik imajinasi kata-kata... indah.
BalasHapusGood luck ya Tiw
Udah ulang tahun sama, kesukaan sama. Romantis banget sih kita, Mbak hahaha
HapusAamiin. Makasih ya, Mbak Yulia :*
Dulu pernah kecanduan kopi dan waktu mau melepas kopi benar2 susah :)
BalasHapusTulisannya bagus, tapi aku harus mengulang bacanya baru bisa memahami maksudnya. Semoga menang ya....
Wah, kenapa udah gak ngopi, Mbak?
HapusKopi itu baik kok, yang jahat itu perlakuannya. Eaaak hahaha
Aamiin. Makasih ya. :3
Diksinya mantap, Tiw ^_^
BalasHapusMakasih Teh Eva :3
HapusTulisan tentang kopi
BalasHapusTiada henti aku membaca apabila kopi yang menjadi topik
Selamat berbahagia dengan secangkir kopi di depan mata! :D
HapusGoresan-goresan tinta mu mengajarkan ku apa arti sebuah kopi bagi para penikmat kopi
BalasHapusAku jadi semakin mengerti mengapa kopi lekat dengan sang penulis yang mampu berceloteh dg segarnya.
Trims mba
#Kandida
Ketika kopi dan kenangan tentangnya berkelindan, pahit yang disulap dalam aksara bisa juga dinikmati semua hehehe
HapusTerima kasih juga sudah mampir, Mbak.
Mantaps :D
HapusSeduhlah kopi, nikmati kenangan pahit tentangnya, dan sembuhkan luka pada waktu yang sama. Karena hanya dia yang ingin moving-on sajalah yang berani menyeduh kenangan pahit dalam secangkir kopi.
BalasHapusIya, Mbak hehehe
HapusAsyik nih tulisannya. Mengalir. Keren. Meski saya jarang ngopi, tapi saya menyukai kopi. Ada sensasi tersendiri di setiap seruputnya. :)
BalasHapusAduh makasih banyak, Mas hehehe
HapusSecangkir kopi, memberi berlaksa inspirasi. Oleh karenanya, dunia saya tak bisa lepas dari kopi. Sebab dalam setiap teguk, akan ada goresan cerita yang berbeda.
BalasHapusApalagi kopi tubruk. Yang mungkin hanya bisa ditemui di cafe2 tertentu saja. Atau malah hanya bisa ditemui di warkop sederhana.
Salam
@nuzululpunya
Yuk, ngopi~
Hapuswaah keren tulisannya. saya ijin share link ya kak
BalasHapusShare link apa, nih, maksudnya? :3
HapusKunbal..
BalasHapusStuju ndak pake lama di bagian, 'Cintailah pecinta kopi, karena mereka cara terbaik menikmati pahit'. Dus, pahit sempurna penjala luka.
Iya hehehe
Hapusini buat lomba ya? wah...bagus kata2nya.
BalasHapusIya buat lomba. Makasih, ya. :)
HapusSelalu suka dengan gaya bahasanya kaktiw.
BalasHapusAku berimajinasi ini kejadian nyata yang kau alami kak. Ya tokohnya kamu. Jadi buyar karena tetiba kenalan dengan Artha namanya Senandung. Hoho
Sukses lombanyaa
Artha dan Senandung itu nama yang kupilih buat jadi nama calon anakku nanti wkwkwk suka banget pakai nama-nama itu jadi nama tokoh di dalam cerpenku hahaha
HapusKopi selalu punya cerita ya mba. Kopi juga punya ikatan kuat dengan masyarakat kita. Kopi juga yang melahirkan banyak inpirasi.
BalasHapusSeperti narasi Mba Tiwi yang mengalir penuh intuisi. Suka.
Jadi penasaran dengan "kamuku." Hihi.. terus yang kamumu nya ada ga..
Terima kasih ya, Mbak Ira hehehe
HapusKamuku masih rahasia ehehehe
suka sama yang nulis, cantik...
BalasHapuseh nambahkan share kayak di samping blogmu itu gimana ya?
Dari semalam aku cari kolom 'Ayo ke Pelaminan' kok nggak ada, ya? Cuma ada kolom komen. :|
BalasHapusBtw, ada beberapa kalimat yang dipaksakan demi senada rima. Aku bacanya kurang asyik sih. Entah karena aku punya masalah personal dengan penulisan semacam ini atau bagaimana. Tapi, secara tak sadar aku mengikuti arus ceritamu. Terima kasih, Nengtiw, sudah diberi kesempatan berkomentar. :)
Kakak yang satu ini nggombal terus hahaha
HapusIya sih, Kak, kujuga ngerasa. Makasih koreksinya! :D
Haha!
HapusLanjut, Neng! :)
Kukumpulin orang yang minta lanjut dulu baru nanti lanjut kalau mood ehehehe
HapusAduuuuuh.
BalasHapusIni aduh doang apaan maknanya? :(
Hapuskeren mba, saya suka suka quote dan filosofi kopinya... sukses untuk lombanya yah
BalasHapusAamiin. Terima kasih, ya.
Hapuskosakata yang satu ini agak dalam, tapi dibalut dengan sedikit ngenes tapi cukup relevan dengan kehidupan remaja single jaman sekaran --> "bercinta dengan sepi" :")
BalasHapusBhahahak ngenes!
HapusKadang-kadang suka iri sama mereka yang suka kopi. Gue gak suka kopi :'( Kenapa ya Allah....kenapa oh kenapaaa...
BalasHapuskayaknya kalo liat orang minum kopi tuh nikmat bangeeet....
Tapi pas gue yng minum, lidah gue gak demen aja rasanya.
:-/
Nikmati perlahan :3
HapusAsik :D
HapusKeren teh tiwi saya baru menyimak karya sebagus ini bukannya terlalu berlebihan tapi memang betul mbak dan saya jadi termotivasi nih.
BalasHapusWah terima kasih banyak, Kang. Mari ikut #memfiksikan :3
Hapusmbak tiwi aku kagum banget sama semua tulisan mbak tiwi. keren tulisannya...sukses terus ya
BalasHapusAllahu akbar! Terima kasih banyak, Mbak. Aamiin, yaa Allah. Semoga Mbak juga sukses selalu, ya. :3
HapusSaya kemana-mana sendiri, termasuk nongkrong untuk ngopi. Harapannya sih dapat kenalan yang asik. Tapi sepertinya gadget merusak keromantisan itu. Sekarang, meski banyak orang ke cafe sendirian tapi sibuk sama gadget-nya. Mau ngajak kenalan jadi ragu-ragu. Hahahaha
BalasHapusNdak nyambung, Om. Ehe he he.
HapusWah kak keren banget.. Ganyangka ternyata kakak ikutan lomba itu. Waktu itu mau ikut tp gada ide jadi males wkwk semangat ya kak semoga sukses^^
BalasHapusAamiin. Makasih, ya, April. :3
HapusBikin ngilerrrrrrr ~
BalasHapusHehehe
HapusGaya penulisannya puitis sangat.
BalasHapusmakasih infonya
BalasHapusAsli keren :D
BalasHapusMantaps :D
BalasHapusAh telat baca :) "Cintailah para pencinta kopi, sebab mereka tau bagaimana cara terbaik menikmati pahit." nice quote
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer