“And I must ask you to imagine a
room, like many thousands, with the window looking across people’s hats and
vans and motor-cars to other windows, and the table inside the room a blank
sheet of paper on which was written in karfe letter WOMAN AND FICTION.” –
Virginia Woolf, A Room of One’s Own.
Memang, perempuan tampak telah
mendapatkan sesuatu yang disebut dengan emansipasi. Namun, kesalahan-kesalahan
atas paham ini masih saja terus terjadi. Seringkali, perempuan tampak seperti
monster yang sangat menyeramkan bagi para lelaki. Setelah sekian lama dipeluk
oleh adanya wacana patriarki, perempuan mulai dapat merasakan memiliki dirinya
sendiri.
Memiliki diri sendir?
PATRIARKI
“Patriarki ini merupakan suatu
sistem sosial yang memberikan prioritas dan kekuasaan terhadap laki-laki dengan
secara langsung maupun tak langsung, dengan kasar mata maupun tersamar,
melakukan penindasan atau subordinasi terhadap perempuan.” – Budianta, halaman
3, dalam Teori Sastra Feminis oleh Irsyad Ridho.
Lagi dan lagi, dominasi pihak
laki-laki melulu menjadi guncangan tersendiri untuk hati perempuan masa kini. Sebab,
perempuan tidak boleh membiarkan dirinya diintimidasi oleh masa lalu. Karena,
masa lalu tak akan pernah dapat berdusta kepada masa depan. Maka, jika
perempuan hanya diam, tak akan sampailah dia pada tujuannya. Tak akan
berubahlah masa depannya.
Namun, perempuan tetaplah
perempuan. Setangguh apa pun dia berada dalam dunia karir, dia akan kembali
menjadi pribadi yang harus dibagi.
“Secara tradisional, perempuan
adalah sosok yang tidak independen; ia menjadi milik suami dan anak-anaknya. Setiap
saat, suami atau anaknya bisa datang dan menuntut penjelasan, dukungan atau
bantuan, dan perempuan berkewajiban untuk memenuhinya. Kaum perempuan adalah
milik keluarga atau kelompok, bukan milik dirinya sendiri.” – Simone de
Beauvoir, dalam esai berjudul Perempuan
dan Kreativitas, halaman 92, dalam
buku kumpulan esai Hidup Matinya Sang
Pengarang oleh Penerbit Obor.
Maka itu, perempuan dikatakan
membutuhkan ruang pribadi untuk memberi kenyamanan terhadap diri sendiri. Aku pribadi,
sebagai seorang perempuan, seringkali menikmati kesendirian. Aku dapat bercinta
dengan aku dan lebih memahami siapa dan bagaimana aku. Cap penyendiri melekat
padaku, siapa pula yang takut? Aku selalu dapat menemukan tempat paling nyaman
saat aku sendiri.
Aku butuh jeda.
Dan, ya, kurasa semua orang butuh
jeda. Dari dunia, bahkan dari orang-orang terdekatnya. Bukan, bukan untuk
melepas diri dari itu semua. Hanya untuk mengetahui lebih dalam tentangnya,
lebih paham hakikat hidupnya, dan lebih bertanggungjawab atas apa yang
diembankan Tuhan kepadanya.
Baca Juga: Jomblo Bukan Nasib, Kok!
Karena untuk mencintai selain
Tuhan—yang ada di luar raga kita—sepatutnyalah kita mencintai diri kita
terlebih dahulu untuk menyempurnakan rasa yang kita punya.
Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak aja jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bagaimana? Manusia bagaikan
serangkaian huruf yang membentuk kata. Kata yang ditulis dengan begitu indah
pada tiap hurufnya. Memiliki ciri dan keunikan tersendiri pada setiap adanya. Namun,
bagaimana? Bagaimana bila dua kata yang sejatinya ingin bersama dan membentuk
frasa tapi tak menghadirkan spasi di dalamnya? Bagaimana kita dapat memaknai
dua kata itu dengan benar?
Bukankah kita baru bisa bergerak bila ada jarak? Dan saling menyayang jika ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Aku pernah mengenal tentang teori
menggenggam pasir. Saat di mana tangan itu menggenggammu terlalu kuat, sehingga
yang terjadi adalah semakin banyaknya pasir yang jatuh. Cinta itu kelembutan,
bukan bermain genggam mana yang lebih kuat. Memberi kesempatan untuk pasangan
untuk mencintai dengan caranya sendiri. Dengan setiap ukiran yang unik di dalam
dirinya yang telah dipersembahkan Tuhan untuk kita.
Napas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi, jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mungkin, ada di antara kamu yang
membaca ini dan telah memiliki tambatan hati. Namun, kita tetaplah pribadi yang
berdiri sendiri. Kita tetaplah individu yang berbeda sama sekali. Bukan, bukan
berarti perbedaan harus menimbulkan perdebatan. Justru, kita dapat lebih
memaknai warna-warni dunia. Kita bukan memaksa pasangan kita untuk menjadi
seperti kita, untuk lebih dekat dari nadi kita. Bukan. Biarkan dia menjadi apa
adanya, karena Tuhan mempertemukan untuk berjalan satu arah.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Janganlah saling membendung apabila tak ingin tersandung. Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring. (Dewi Lestari, “Spasi”, 1998, halaman 98, dalam Filosofi Kopi)
Perempuan. Jangan dekap terlalu
erat. Karena tempat paling nyaman untuk mereka ialah berada di sampingmu,
sejajar denganmu, beriringan denganmu. Hanyalah jeda yang dibutuhkannya. Jeda yang
dimaknai dengan begitu indah. Agar dia dapat menemukan ruang pribadinya. Dan belajar.
Untuk. Mencintaimu. Lebih. Dari. Yang. Kamu. Tau. Sebelumnya.
“Give her a room of her own and
five hundred a year, let her speak her mind and leave out half that she now
puts in, and she will write a better book one of these days.” – Virginia
Woolf, A Room of One’s Own.
Dan aku masih begitu
menikmati antara. Dengan segenap imaji dan dekap aksara. Aku masih sangat
membutuhkan jeda. Untuk memenuhi seluruh aku dengan peluk cinta.
Perempuan,
Pertiwi Yuliana
42 komentar
Buseng, gue butuh tembok tiw, baca tulisan kamu. Bacaaan tingkat tinggi banget iniiih *aseeek*
BalasHapusKatanya sih, perempuan jika sudah milik laki-laki aka suaminya, maka ia tak akan lagi menjadi dirinya sendiri.
Mapres FMIPA mah baca ginian doang apaan atuh :(
HapusIya itu yang ditulis sama Simone dan Woolf juga, Kak.
Ini memperingati hari perempuan, kan? Huuuuhuhuuu otak gue gak nyampe ini. Berat..:(
BalasHapusTapi gue suka kutipan dewi lestari tuh. Keren
Apalah, hahaha.
HapusIya, paling gue suka tuh.
Dear jodoh, masih lama gak otw nya? :'( aku tanpamu, bagai sms-an pake esia, lelah gak ada jeda(spasi)nya..
BalasHapusNg.... Mau dipromosiin, Kak Tres? Hahaha
HapusBanyak kutipannya
BalasHapusIya, sedang ingin menggunakan banyak sumber, Pak. Hehehe nanti ditambah lagi. Terima kasih koreksinya, ya.
HapusGue lagi menyelarasan pemikiran elu sama pemikiran gue men...
BalasHapusYang gue suka si cuman satu
Kita akan berkembang ketika kita memiliki jarak. Bukan membuat jarak.
Ah tau ah. Otak gue ga nyambung
Yha emang gitu, Pak. :(
HapusAku juga seperti itu menyukai waktu untuk sendirian malah lebih banyak waktu untuk sendirian ketimbang banyak berinteraksi dengan teman. Karena ya sendiri itu tenang apabila kita tahu bagaimana cara menyikapinya :)
BalasHapusIya karena setiap manusia butuh jeda, butuh waktu untuk dirinya sendiri :)
HapusYaa, pada dsarnya semua memang butuh jeda.
BalasHapussuka bnget yang ini,
Bukankah kita baru bisa bergerak bila ada jarak? Dan saling menyayang jika ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Ibu suri memang luar biasa! :D
HapusYap, selalu ada jeda dalam hari-hari gue karena waktu gue bukan dikorbani untuk hal-hal yang tidak bermanfaat seperti yang teman-teman gue lakukan. Gue lebih milih sendiri. Dalam diam.
BalasHapusYa, tapi tetap harus seimbang, Za.
HapusYuhuu.. Bagus ukhti Jeda untuk mempersiapkan diri, jeda untuk memantaskan diri, jeda untuk memperbaiki diri, jeda untuk ridha Allah Azza Wa Jalla. Itu sih yang ana pikirkan. hehe
BalasHapusAamiin hehehe
HapusDuh, jeda. Jadi pengin jeda punya pacar biar ngurangin mesum. Eh.
BalasHapusPantes kayak nggak asing sama kalimatnya. Taunya emang kutipan dari tulisan "Spasi". :))
Btw, itu gambar milik pribadi apa gimana deh? Bukannya skrinsut gugel? Kok dikasih watermark? :(
Iya, ini lagi belajar bikin gambar sendiri. Jangan diikutin, ya. :(
HapusKaya baca kti, banyak kutipan. Tapi sukaa dibacanya enak, ngaliiir. Aku butuh jeda tuk kenali diriku sejatinya.
BalasHapusSemua orang butuh jeda, Mar :')
HapusSetuju. jeda itu membuat kita sebagai perempuan punya identitas sendiri. bukan bayang-bayang suami atau orang lain.
BalasHapusBetul, Mbak, karena perempuan juga punya kakinya sendiri.
HapusButuh banyak jeda Wi buat bacanya haha. Baca - mikir - baca - mikir
BalasHapusSetidaknya bisa bikin mikir ya, Yud.
HapusSelamat Hari Perempuan wahai calon dari anak-anak kelak.
BalasHapusOke, sebelumnya aku pengen kenalan, dulu. Maklum, ini pertama mampir blog ini. Jujur, selama ngebaca tentang Jeda ini, mengajak aku kembali ke belasan tahun yang lalu. Tentang bagaimana memberi jarak antara kepantasan dan hati. Aduh.. pokoknya, materi di atas bikin aku terngiang akan masa lalu. Apalagi, perihal hati. Beri jeda untuk siap menjadi pendampingmu... :)
Btw, aku suka nih, sama kutipan Buku "Spasi. by mbk Dewi." Keren..
Tjieeee yang terngiang masa lalu hahahaha salam kenal juga, ya.
HapusGilaak tulisanmu dewa Wi :D sukaaaaaaaak :D sedikit berat, tapi masih bisa dimaknai :D
BalasHapusBener sih, kebanyakan sekarang -_- banyak cowok yang terlalu terkesan menganggap cewek agak gimana gitu -_- harusnya sih, cewek diajak jalan beriringan. bukan digiring.
wuuwwuw sukaaaak :D
Terima kasih, Febri. :)
HapusBerasa kaya baca buku teks filsafat ilmu. Mana dulu gua filsafat cabut mulu #lahcurhat
BalasHapusKamu badung, kamu bandel.
HapusKlo patriarkinya bener2 diterapin total, tentu perempuan ga punya ruang napas untuk mengapresiasi dirinya sendiri ya tiw...
BalasHapusBetul :')
HapusKita butuh jeda untuk mengenal siapa kita sebenarnya, kadang lelah juga untuk mengikuti nalar, disaat sendiri banyak hal-hal yang bisa kita intropeksi entah itu emosi atau pencarian jati diri #ahseek
BalasHapusMaka itu, jeda menjadi sangat penting ya :)
HapusKalo buat emak, mkg istilahnya "me time" ya. Jeda memang penting, agar wanita tetap bisa menjaga pikirannya sendiri.
BalasHapusIya, Mbak hehehe
Hapusartikelnya keren, dalem banget maknanya mbak
BalasHapusApa hayooo?
Hapuspemilihan kata-katanya bagus banget kak...
BalasHapusperihal jeda, yang ada di antara dua. dua sosok antara dia dan dia, menjadikannya jejak pembatas yang membuatnya sadar bahwa ada jeda di antara mereka. Jeda, jeda, jeda, semua kata-kata di dunia akan tidak berguna tanpa kehadirannya...
Ibu Suri memang keren, Om. Hehehe betul, tuh.
HapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer