Hai, saya Manusia. Salam kenal.
Saya hidup di sebuah Negara yang memiliki sistem pemerintahan yang demokratis,
katanya. Negara saya begitu kaya, tapi orang-orang seperti saya biasanya
terlalu nikmat dengan individualismenya sampai melupa bahwa kekayaan ini bisa
dipergunakan lebih dan lebih lagi untuk kemakmuran dengan skala yang lebih
besar.
Lupa.
Teramat banyak orang-orang yang
lupa. Lupa bahwa keberagaman di Negara ini begitu sulit untuk ditepis. Bermula
dari suku, agama, ras, sampai pada status sosial. Teramat banyak orang-orang
yang lupa, bahwa kita semua adalah saudara.
Siapa saya? Saya Manusia, hanya
seseorang yang begitu sakit hatinya ketika ada yang menyuarakan perang
antarsaudara. Saya seringkali menulis—sebagai salah satu bentuk perjuangan saya
di luar tindakan nyata—untuk mencoba membuka mata para pelupa. Kita sama,
walaupun ada faktor-faktor nyata yang menampakkan bahwa kita berbeda.
Saya pernah datang ke sebuah
lembaga bantuan hukum di kota saya atas sebuah undangan yang saya terima.
Kami—kumpulan manusia dari kaum minoritas—banyak berbincang di sana mengenai
segala seluk-beluk yang carut-marut di Negara. Di sana, salah satunya adalah
seorang anak dari mantan orang nomor satu di Negara. Beliau bersuara, mengenai
beda yang semakin menyesak.
Katanya lagi, Negara ini
didominasi oleh penganut satu agama yang cukup besar di dunia. Yang saya
tahu—sebagai salah satu penganut agama yang sama—kami diajarkan untuk selalu
berprasangka baik pada apa pun dan siapa pun. Entah, tetapi agaknya miris hati
saya sebagai manusia menyaksikan banyak perang yang mengatasnamakan agama.
Perlukah agama dibela? Justru kita sebagai manusia yang mesti berlindung
padanya, kan? Jadi, siapa yang butuh belaan?
Saya bukan siapa-siapa. Saya
hanya Manusia. Manusia yang kecil di antara sekelompok manusia yang
mengagungkan dirinya sebagai makhluk beragama, tetapi melakukan tindakan yang
tak pantas disebut patuh pada syariat yang “katanya” diyakininya. Saya
menyaksikan dan tertawa kecil di sana. Menghujat dan menghakimi mereka yang
berbeda. Sungguh, ada pertanyaan besar dalam diri saya: apakah pantas manusia
menghakimi manusia lain sebelum Tuhan Yang Maha Segalanya?
Baiklah, saya Manusia dari kaum
minoritas, masih meraba di mana letak kebenaran atas apa yang nyatanya ada di
depan mata. Terakhir, sebuah kitab adalah panduan. Namun yang harus kita semua
pahami adalah kita harus benar-benar memahami sebelum asal menerapkan.
Salam,
Yang Tersingkirkan
9 komentar
Uwuwuwuu ibu guru tulisannya ngena banget. Minta ajarin ah :*
BalasHapusYang ibu guru kan kamu, Nov ahahaha ayuk belajar bareng~~~
HapusTulisannya berbobot... Cakep .
BalasHapusTulisannya rapi. 😊
BalasHapusAku gangerti harus ngomong apa lagi ehe........
BalasHapusIni yang pernah ngobrol sama gue di WA. Mantaaappps! Gue sebagai minoritas merasa terwakili juga. :)
BalasHapussetuju, hidup Bhinneka Tunggal Ika (y)
BalasHapusmemang jadi agak males sama orang yang nyela agama lain. Berdebat boleh, asal positif
BalasHapusSudah kuduga tulisanya enak dibaca..
BalasHapusMeski gak ngerti ttp ku baca.
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer