Cita-citaku
(cita-citaku)
Kepingin jadi dokter
Cita-citaku
(cita-citaku)
Ingin jadi insinyur
Cita-citaku
(cita-citaku)
Menjadi anak pinter
Cita-citaku
(cita-citaku)
Ingin jadi presiden
Susan : Boleh Kak Ria?
Ria : Boleh.
Cita-cita memang harus setinggi langit
Susan : Iya nanti
kalau Susan nggak jadi presiden, ya wakilnya
***
Aloha! Back to 90’s, Gengs! Kalau kalian tau lagu di atas, masa kecil
kalian sungguh bahagia. Momen yang pas bagi dedek-dedek SMA yang baru aja
ngerayain kelulusan dan lagi galau sama jurusan kuliah, kali ini gue mau bahas
soal cita-cita.
Well, bahasan soal cita-cita dan passion kayaknya memang udah gak asing lagi di rumah literasi gue
ini, maka untuk fokusnya kali ini akan lebih kepada konsistensi dalam memegang
sebuah cita-cita.
Okey, back to the song! Sadar gak
kalau di balik kebahagiaan masa kecil kita saat mendengarkan lagu-lagu itu,
terselip mantra-mantra ajaib yang masuk ke dalam alam bawah sadar kita? Biar gue
luruskan, gue bukan akan menulis—atau mengetik—tentang sesuatu yang positif,
tetapi gue akan membahas dari sisi negatif.
Semua hal di dunia punya sisi
positif dan negatif, entah dengan kadar yang sama atau berat sebelah, entah
pula benar-benar tampak ataukah ada salah satu yang terlupakan. Sebagai kaum
minoritas, gue suka ngangkat apa-apa yang terlupakan banyak orang. Yap, sisi negatif dari lagu tadi adalah
salah satunya.
Positifnya lagu tersebut adalah
memberikan semangat kepada anak-anak Indonesia untuk mempunyai cita-cita yang
tinggi. Tapi sayangnya, semangat dari lagu tersebut tetiba dipatahkan oleh
inkonsistensi yang terdapat pada bagian akhirnya. Semacam orang pacaran yang tau-tau
putus: awalnya ditinggikan dan dibanggakan, akhirnya tetap dijatuhkan. Life…
“Iya, nanti kalau Susan nggak jadi presiden, ya wakilnya.”
PENURUNAN CITA-CITA
Gue yakin, ini bukan sesuatu yang
asing dalam kehidupan nyata yang kita punya. Waktu masih SD pengin jadi
presiden, SMP pengin jadi menteri, SMA pengin jadi walikota, kuliah? Lulus aja
udah alhamdulillah. Iya, gak? Jangan bilang
kalo lo adalah salah satu yang mengalami penurunan cita-cita…
Hmm, kalau iya pun sebetulnya gak
apa-apa. Banyak orang yang beralasan, “Gue belum nemu passion gue di mana,”
atau, “Semua orang ngalamin itu, kok, wajar.”
Okey, okey.
Tapi gue rasa, yang namanya inkonsistensi
cita-cita semacam itu gak akan terjadi kalau:
- Kita tau dan kenal betul siapa diri kita. Kalau kita udah khatam dengan hal yang pertama ini, kita gak akan terlalu muluk-muluk hingga akhirnya harus perlahan menurunkan cita-cita atau bahkan membuatnya terjun bebas dari ketinggian yang tak terhingga. Karena kita tau siapa diri kita, kita tau apa mau kita, kita tau apa tujuan kita. Simple? Yes. Kita tinggal mencintai diri kita lebih dan lebih lagi.
- Yakin dan percaya kalau kita bisa. Dari kecil, gue mayakini bahwa gak ada hal yang mustahil di dunia ini. Termasuk soal cita-cita. Setinggi apa pun cita-cita itu, kita pasti berhasil mendapatkannya. Percaya, gak? Harus percaya. Kita pasti berhasil, hanya tingkat keberhasilan kita sampai di level mana itulah yang ditentukan oleh poin selanjutnya.
- Usaha dan kerja keras. Kalau kita mau push semangat kita buat usaha dan kerja keras untuk sebuah pencapaian—dalam hal ini cita-cita, semuanya pasti bisa diwujudkan. Banyak sekali kegagalan yang terjadi karena malas mengeluarkan energi lebih dibanding banyak pesaing di luar sana. Akhirnya? Alasan lagi, alasan lagi. Kita gak akan sampai pada titik apa pun pada level pencapaian itu.
Nah, kita gak boleh kayak Susan
ya, Gengs. Susan menyesatkan alam bawah sadar kita sedari kecil. Hilangkan Susan
dari muka bumi! MERDEKA!
Gue sendiri sebetulnya gak pernah
mengalami inkonsistensi dalam hal cita-cita. Gue baru nemu satu cita-cita yang sreg banget saat gue kelas enam sekolah
dasar secara tidak sengaja. Gak sengaja. Gue pengin jadi penulis saat itu
gegara nulis satu cerpen. Nulis cerpen ini pun sebetulnya karena keirian
semata. Gue yang udah biasa jadi nomor satu di sekolah dengan polosnya gak rela
kalau ada teman lain yang dipuji sama guru, namanya juga anak kecil. Temen gue
bikin cerpen, dipuji dan disuruh lanjutkan. Gue dengar itu dan malamnya gue
langsung bikin cerpen juga.
Akhirnya? Nulis itu nagih! Gue gak
tau kenapa tetiba gue bisa begitu cinta dengan hal itu. Dan itu semua adalah
awal. Awal di man ague untuk pertama kalinya bisa dengan mantap bilang kalau
gue punya cita-cita dan cita-cita gue adalah menjadi seorang penulis. Empat buku
yang ada di sini agaknya cukup membuka pintu buat gue, hingga sekarang gue
mulai memilih dan mem-branding diri
gue sendiri.
PERTIWI YULIANA
Banyak orang yang gak sadar kalau
nama di atas hanyalah nama pena, bukan nama asli. Please buat yang tau nama asli gue gak usah songong dan nulis nama gue
di kotak komentar, doraka! Bahkan banyak temen sekelas gue yang suka protes
karena lupa sama nama asli gue saat nulis absen atau makalah atau ppt. Iyalah, di
mana-mana gue pake nama Pertiwi Yuliana, hahaha!
Gue suka, kok, sama nama asli
gue. Suka banget malah! Gue cuma mau memberi spasi antara dunia literasi dan
dunia nyata ini, eh gak taunya malah keterusan. Gak apa-apa, branding image gue cukup sukses dong
dengan banyaknya yang gak sadar kayak gitu? Perihal nama—buat gue—juga penting
untuk cita-cita gue. Percayalah semua ini demi mewujudkan apa yang sedari kelas
enam sekolah dasar gue impikan, gak usah pada marah. :p
Well, konsistensi dalam memegang
teguh sebuah cita-cita bisa membawa langkah kita lebih mantap untuk berjalan ke
depan. Ayuk dedek-dedek jangan galau, udah tau cita-citanya mau jadi apa? Pilihlah
jurusan yang tepat, jangan udah masuk terus ngeluh salah jurusan. Udah mainstream soalnya. *eh
Okey, terakhir: doain gue bisa
bikin buku sendiri sebelum gue lulus kuliah ini, ya! Yang sampulnya cuma ada
nama gue—nama pena gue, Pertiwi Yuliana. Yayaya? Yuk, aamiin.
*ujung-ujungnya minta doa*
*dirajam berjamaah*
*tetep lambai-lambai cantik*
Salam,
Your favourite devil’s advocate
11 komentar
Oh jadi nama pertiwiyuliana itu nama pena haha. Semoga terwujud bisa nulis buku, yg pentingusaha terus, barang siapa yg akan usaha lebih pasti hasilnya jg akan lebih.
BalasHapusAamiin :)
HapusItu nama pena. Wah ternyata. Hahaha... dari dlu emang sudah konsisten si mbak yg satu ini. Semoga lancar dan bisa terbit buku nya.
BalasHapusHahaha aamiin ya, Kak :)
HapusDuh, gue nggak konsisten, Kak. Gue baru suka nulis pas SMK. Sampe sekarang masih suka nulis, sih. Tapi sekarang cita-cita gue berubah lagi. Mau punya pacar cantik. Eh, itu cita-cita bukan? :(
BalasHapusCita-cita juga, cita-cita jangka pendek :/
Hapusgue merasa dibohongi :p
BalasHapuspantes kok namanya terlalu anggun buat lu :p
ternyata itu nama pena.
amin..
ditunggu kabar bukunya.. segera selesaikan ya.
Aku tau dari siapa ya, nama asli kamu, Wi.. Kayaknya waktu itu lagi ngobrol-ngobrol ganteng sama salah satu dedemit deh. Huahahahah :D
BalasHapusAh ya.. Sering kali orang menurunkan takaran cita-citanya, karena emang ya anggapan 'daripada enggak sama sekali' itu lebih sakit daripada hubungan LDR. Eh. ._.
Semoga bisa jadi penulis handal ya.. Plus nerbitin banyak buku jugak.. Aamiiin..
gue pun sulit konsisten dalam hal cita-cita. sd mau jadi ini, smp mau jadi ini, sma mau jadi ini.
BalasHapussama kayak si kampret susan yang banyak maunya. oalah, ternyata selama ini... nama lo bukan nama asli toh. nama panggung gitu ya..
Sd harus pringkat 3 besar,
BalasHapusSmp masuk 10 besar,
Smk naik kelas aja bersyukur banget...
Sama yaa? Inkonsistensi juga....
Haha
Amiiiiinnnnnn~ Sukses terus buat pertiwi yuliana :D
BalasHapusendingnya gue pakek dibawa-bawa, hadehhhh :P
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer