Aku suka sekali menjelajah waktu. Kali ini, perjalananku kembali pada lima tahun lalu. Saat di mana tiga pasang angka berderet menjadi sesuatu yang amat kurindu.
Di sana ada kamu, mengirimkan satu pesan yang menyatakan sebuah rasa yang kamu pendam. Ah, bahagia bukan buatan. Seketika, kuingin melompat-lompat di atas tempat tidurku.
Kamu ingat? Dua bulan sebelumnya, kamu memintaku menunggu. Itu adalah kali pertamaku menjadi orang yang bisu dalam penantian akanmu. Pada awalnya, menyebalkan memang. Tapi, kemudian kusadar kamu sedang mengajarkanku menjadi aku yang lebih baik dari sebelumnya. Dan, voilaaaa! Indah memang akan datang pada waktunya.
Kamu benar, aku harus jadi orang yang lebih sabar. Beberapa hari kemudian, kita sering jalan berdua. Walaupun harus kembali menanti sepi agar tak terlalu mencolok mata para pemerhati. Kamu tak ragu lagi menautkan telapak pada tanganku yang bebas saat menyeberang jalan. Hangat. Dan candu pun datang setelah merasakannya.
Hari-hari kita lewati dengan tawa. Ah, kalau ditanya kita ini apa, aku juga tak tau harus menjawab apa. Tapi, kamu bilang aku pacarmu. Padahal, kamu tak pernah memintaku demikian. Bukan masalah, kita sudah sama-sama dewasa, kan?
Tapi, benar. Kita tak pernah punya kuasa untuk mengendalikan pikiran banyak orang. Mereka menghina, mengatakan kita tak jelas adanya. Alasannya, hanya karena kita tidak memiliki status semata. Ah, aku benci mengingat ini. Mereka pernah menyanyikan satu lagu yang kusuka dengan mengubah liriknya:
"Karena kamu... HAPPY PENDING-ku!"
Kumau bilang mereka jahat, tapi mereka semua teman. Ah, aku tak sanggup marah, karena mungkin mereka benar. Titik-titik air mata mulai jatuh ke pipiku. Dan kamu mendengar kabar tangis yang jatuh itu. Entah dari mana, namun itu membuatmu menyadari sesuatu untuk kita menghapus semu.
Bulan berikutnya, di bawah pohon rindang, kamu menggenggam dua tanganku.
“Degdegan, ya?”
“Enggak, kok,” jawabku, tanpa mendaratkan tatap pada matamu. Ya, aku memang tak pernah mampu. Bahkan hanya untuk lima detik yang kamu minta beberapa hari lalu.
“Minggu lalu, aku janji sesuatu. Ingat, kan? Yang bikin kamu ngambek itu.”
Aku mengangguk.
“Maaf, ya, hari itu sebetulnya aku mau nepatin janji. Tapi, ada masalah teknis. Handphone-ku mati. Aku mau ngasih ini buat kamu,” jelasmu sembari memasangkan earphone pada telingaku.
Dari Hati milik Club 80's yang kamu nyanyikan menggema di telingaku. Jadi, itu? Senyumku kian mengembang. Akhirnya, kuberanikan diri menengadah, menatap mata yang terpaut dua puluh empat senti dari mataku. Kamu.
“Gimana? Mau jadi pacarku?” tanyamu saat sukses sudah tatap kita bertumbuk pada satu titik yang padu.
“Iya,” jawabku lirih.
“Apa?”
Merah padam sudah air mukaku. Aku malu. Aku kembali menundukkan kepala, masih dengan senyum yang tak tertahankan. “Aku mau jadi pacarmu.”
Kamu peluk aku. Ini kali pertama telingaku menempel pada dadamu. Kali pertama aku dengar dengan jelas detak jantungmu. Kali pertama. Kita. Dengan. Status. Yang. Jelas.
“Kemarin aku main futsal. Aku bisa bikin empat gol, dong. L-I-A-N. Pas, kan?”
“Buat aku?”
“Iya, dong!”
“Makasih, ya.”
Dua belas bulan setelahnya, kita masih tertawa. Bahagia seperti sebelum-sebelumnya. Kamu berikanku kado kecil untuk hari kita.
“Maaf, ya, gak aku bungkus. Tadi buru-buru. Semoga bermanfaat ya buat kamu.”
Dan aku kembali dengan sempurna mendarat di pelukmu. “Terima kasih, Sayang.”
Kita pernah percaya, kita akan tetap bersama. Namun sekarang, aku di sini hanya bersama kenangan dan sebuah undangan. Aku datang, pada hari pernikahanmu dengan orang yang merebutmu dari pelukku, Sayang. Aku harus mengulang semuanya. Indah pada waktunya, kan?
***
Heyyaaaa! Asik, nih, #memfiksikan udah sampai minggu ketiga. Kali ini temanya KENANGAN. Yuk, yang mau ikutan ditunggu sampai 23.59 yaaa :D
Salam fiksi,
Pertiwi
38 komentar
Fiksinya keren kak, sampe ke hati :D
BalasHapusTerima kasih :)
HapusWakakak. Gue yang bacanya terhanyut mendadak ketawa liat komentar. :(
BalasHapusNggg. Kok kayak cerita tentang mantan, Wi? Ya seperti biasa. Nggak usah diragukan lagi. Bagusss :)
Salah fokus lo, salah fokus! Hahahaha
Hapus*sumpel mulut Yoga*
Thanks :3
kereennn :D
BalasHapusMakasih hihihi :)
HapusKeren. Brasa banget bacanya.
BalasHapusSakit, gak? Hahaha :p
HapusBaper banget bacanya,,hehe keren :D
BalasHapusMakasih, Kak :D
HapusBaguss Wi, sayang belum sempet ikutan. :D
BalasHapusBelum sempet apa belum mau? Aziz jahat! Huh.
HapusKarena kamu.... happy pending-ku. x))
BalasHapusShakti, kamu nyebelin. Aku palak artwork juga, nih :/
Hapuswahahaha, makin keren aja kata-katanya :")
BalasHapusmeskipun kamu adalah happy endingku, dia tetap menjadi bagian kelam dari happy ending ini. ending-endingnya, jadi twist ending. dua belas bulannya, cerita kita akan menjadi tidak berending.
*dua belas bulan setelahnya*
HapusMakasih, ya :)
HapusGue suka sama kalimat ini "Kita tak pernah punya kuasa untuk mengendalikan pikiran banyak orang." keren!
BalasHapusYoi, gue keren hahaha :p
HapusRalat. Lo gak keren. Gue keren. :3
HapusUntuk komentar di sini, Jumat kemaren aku udah nyuri sandal empat biji. T-I-W-I. Iya, itu buat kamu.
BalasHapusGak terima, Haw. Enggak! -___-
HapusKeren beneran. -_-
BalasHapusItu jadi kayak nyeritain tentang betapa indahnya masa-masa pacaran. Dan betapa nyeseknya ketika dia udah kawin duluan. Wah, wah. Tapi, itu fiksi. Coba aja beneran. Kan, seru :p
Makasih hehehe
HapusJangan sampe nyata aja, gak mau :/
Kirain tadi lagi curhat, gataunya fiksi. Keren nih, ga gampang nulis fiksi.
BalasHapusCurhat juga, fiksi juga wahahaha
HapusMakasih, ya. Gampang kok kalo mau nyoba :D
Diksinya keren! Gue harus banyak belajar dari sini nih! Susah nggak kak bikin fiksi?
BalasHapusTidak, Dik. Yang susah ialah meredam kemalasan. Sungguh.
HapusKetawa deh baca ini. Bahagia aja gitu kalo liat orang nginget yang dahulu pernah menyisipkan sesuatu hal yang bisa dikenang. Sampai lupa kalo ternyata ini sedih.
BalasHapusPadahal gue gak ngelawak. Anak ini sungguh menyebalkan :(
HapusTerhanyut :)
BalasHapusKalo gue, mengenang gitu pas mau menghadiri pernikahan, mungkin gue udah pulang, terus nangis kejer di pojokan kamar XD
Duh, jangan sampe hanyut. Emang lagi musim ujan, sik. *eeh
HapusHahaha kan ceritanya itu cewek setrong:D
Kadang kenangan yang teringat malah yang menyesakkan dada dan mengundang linangan air mata.. :P
BalasHapusUntung fiksi. Fik-si. F-i-k-s-i. Huahaha!
Hapus*kemudian hilang*
*ambil tissu* mulai lap keringat.
BalasHapusAduuuuh mbak, bagus banget. Kasih 6 jempol deehhhh :3
Makasih, ya! Wah, jempol kamu banyak hahaha
HapusIni fiksi yaaa? :D Aku harus bilang, ceritanya bagus, ga bosenin samasekali, dan bikin pengen baca ampe abis... Walopun ternyata..... sad ending ;p
BalasHapusEhe ehe ehehehe :p
Hapus*melipir
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer