“Gimana mau
berekspresi kalau kuliah di balik jeruji besi?” – Dosen.
Katanya begitu, tapi gue sama
sekali gak menganggap kampus ini sebagai jeruji besi. Walaupun, ya, jurusan
gue—atau prodi gue tepatnya—sering perang dingin dengan dosen, kaprodi, bahkan
kajur. Kalau mau jadi manusia yang lemah, mungkin gue akan menyesali pilihan
gue masuk ke kampus ini, ke jurusan ini, ke prodi ini. Iya, kata temen-temen
gue, dulu gue udah enak masuk Psikologi UNS. Iya, jadi anak fakultas
kedokteran. Kalau dipikir, memang keren. Tapi balik lagi, ini soal panggilan
jiwa.
Universitas Negeri Jakarta
Kalau dengar nama di atas, pasti
pikirannya gak akan jauh dari sekumpulan calon guru. Tapi gue masuk ke sana
bukan karena pengin jadi guru, gue malah gak mau sama sekali jadi guru.
Alasannya sederhana, gue murid yang badung dan gak pengin kualat wahahaha!
Lagian, setelah kenal sama dunia editorial, gue pengin melanjutkannya lebih
dalam. Editor lebih bebas mau maki-maki orang asal teorinya benar. Guru mana
boleh maki-maki muridnya? Iya, gue tau gue kejam. Tapi demi kebaikan kalian,
muah! :*
Pertama kali gue punya cita-cita
adalah saat pertama gue kenal gimana asyiknya menulis, kelas enam SD. Sedangkan
gue mulai suka psikologi dan suka baca buku psikologi sejak kelas dua SMP. Nah,
ada saat di mana gue benar-benar jatuh cinta sama psikologi, waktu itu awal
kelas tiga SMA. Gue baru sadar gimana gue yang lagi jatuh bisa ditampar dan
bangkit dengan mudahnya hanya karena baca buku psikologi. Amazing! Tapi sama seperti matematika dan fisika, ternyata gue
hanya sekadar suka. Cinta ketiga setelah Tuhan dan orangtua—buat gue—adalah
sastra.
Di kampus pendidikan ini, prodi
gue masih terbilang sangat baru. Dan hal yang baru ini ternyata sudah mendapat stereotype yang mengiris hati. Kadang
sedih, sih, tapi gue gak nganggep ini jeruji besi. Kenapa? Bahas satu-satu
ajalah keajaiban-keajaiban prodi sastra Indonesia ini~~~
Penuh perjuangan melawan stereotype
Sebagai akademisi, seharusnya
kita ada di pihak yang netral. Betul? Jangan kebawa dendam masa lalu. Harusnya.
Tapi nyatanya, masih banyak orang yang mengotak-ngotakkan itu semua. Alasannya?
Ya, karena stereotype aja. Sastra
biasa disebut dengan non-dik, non-pendidikan. Gegara itu, banyak yang suka buat
plesetan, “Ini sastra, ya? Non-dik, ya? Gak berpendidikan, dong?” Dan yang
bilang begitu kebanyakan dosen. Dosen yang—kayaknya—belum bisa menerima
kehadiran prodi sastra.
Mungkin bukan sepenuhnya salah
mereka, kakak-kakak kelas memang kelakuannya agak brutal. Tapi, menjadikan stereotype tersebut jadi pandangan utama
kan salah juga. Gak semua anak sastra brutal. Kalau dari penampilan memang
jelas beda dengan anak pendidikan, mereka rapi. Ya iyalah, mereka kan calon
pendidik, kami orang-orang seni: seni sastra. Dan cara pertama untuk
menunjukkan keseniannya jelas lewat penampilan.
Informal vs. Formal |
Disuruh rapi, kami juga bisa.
Asal gak usah dikekang. Nah, maka itu angkatan gue—terutama yang peminatan
sastra—sekarang sedang mati-matian berjuang melawan stereotype tersebut. Bukan dengan menjadi apa yang mereka mau, tapi
dengan prestasi tanpa mengubah diri kami sendiri.
Gue pernah presentasi di depan
kelas saat matkul dosen yang pernah bilang kami tidak berpendidikan, begini:
“Be wild and creative. Kenapa harus wild? Sebagai mahasiswa sastra, pasti sering dapat stereotype sebagai mahasiswa yang liar
dan tidak berpendidikan. Nah, tujuan dibuatnya ini adalah untuk mengubah stereotype tersebut. Jika biasanya liar
identik dengan sesuatu yang negatif, maka kali ini kami akan membuat keliaran
menjadi sesuatu yang positif.”
*kemudian kelas benar-benar
hening*
Dosen gaul
Ini, nih, yang langka. Jarang,
kan, bisa nemu dosen yang kalo di luar kelas bisa ngobrol santai pake bahasa
“gue-elo”? Di antara sekumpulan dosen yang masih terkekang stereotype, ada juga dosen yang berjuang bersama kami untuk
menghancurkan stereotype ini. Mereka
jelas jadi kesayangan kami. Mereka yang bisa diajak nongkrong bareng, curhat,
ngobrol ini-itu secara bebas tanpa kelihatan batas usianya, asyiklah!
- Bunda Helvy Tiana Rosa
Gak usah
diperkenalkan, pasti beliau udah ngetop seantero Indonesia. Iya, namanya juga
sastrawan. Dan gue percaya bahwa seorang sastrawan adalah orang yang rendah
hati. Dan Bunda Helvy adalah salah satu contohnya. Beberapa sastrawan yang
pernah gue temui juga begitu. Mereka gak mau dibilang sastrawan, paling maunya
dibilang penulis atau penyair. Loveable!
<3
Dosen, kalau
diledekin pasti ngamuk. Bunda mah enggak.
“Kukira itu
brokoli, ternyata itu kembang kol. Tapi dia tak marah, tapi dia tak marah. Dia suamiku
tercinta.”
Begitu kami
sering meledek Bunda, gegara Bunda gak bisa bedain mana brokoli dan mana
kembang kol. Tapi ajaibnya, dosen kesayangan kami itu hanya senyum-senyum saat
kami menyanyikan lagu tersebut.
Bunda juga yang
beberapa kali nraktir gue makan saat minta bantuan gue dan beberapa teman untuk
jadi tim editorial tugas yang ingin dijadikan buku.
- Pak Irsyad Ridho
Nah, ini yang
gue bilang suka ngomong “gue-elo” kalo di luar kelas. Seorang dosen yang begitu
karismatik di kelas dan asyik di luar kelas. Beliau adalah dosen yang paling fair. Gak mempermasalahkan absen, karena
katanya belajar itu gak harus di dalam kelas. Apalagi kami anak sastra, kami
harus liat dunia luar. Kurang ajaib apa, sih, nemu dosen begini?
Beliau gak suka
marah, padahal kelas suka berisik. Beliau gak marah, tapi nyindir. Nyindir
sinis hahaha! Tapi memang benar, kalau gak mau belajar ya hargai yang mau
belajar. Gak usah masuk kelas, lebih fair.
Banyak mahasiswi
yang tergila-gila sama dosen satu ini, banyak tapi gue enggak. Gue cuma kagum.
Kata temen gue, “Pak Irsyad adalah orang yang paling gak bullshit yang gue kenal.”
Habis matkulnya,
pikiran gue selalu cerah. Apalagi kalau lagi bahas feminisme. Duh.
Mata kuliah luar biasa
"Bahasa adalah landasan menguasai kehidupan. Kalau tidak menguasai bahasa, bagaimana akan menguasai kehidupan?" - Dosen.
Pilihan gue untuk ngelepas Psikologi UNS dan masuk ke
sastra Indonesia UNJ ini gak pernah gue sesali. Well, ada yang bilang kalau filsafat adalah the mother of knowledge. Tapi, ada juga pihak-pihak yang bilang
kalau sebutan tersebut lebih cocok disematkan pada sastra. Ah, gue percaya
dua-duanya. Dan gue mempelajari dua-duanya.
Percayalah, di sastra Indonesia gak cuma belajar soal
bahasa. Banyaaaak banget hal menyenangkan dan pastinya membuat pikiran terbuka
di sana. Soal kehidupan dan segala aspek yang menyertainya. Sosiologi,
psikologi, sejarah, antropologi, ah banyak! Semuanya dipelajari. Iyalah, karena
sejatinya sastra itu sendiri adalah replika kehidupan. Kurang apa? Kebahagiaan
mana lagi yang mau dinafikan?
Yap, karena bahagia itu sederhana. Sesederhana mendapat
ilmu pengetahuan.
Mahasiswa yang unik
Kalian tau tipe-tipe mahasiswa apa aja? Kupu-kupu? Di
sastra Indonesia, ada. Kura-kura? Di sastra Indonesia juga ada. Kunang-kunang? Ah,
banyak! Gue yakin di semua universitas, fakultas, jurusan, dan prodi pasti ada
deh tipe-tipe kayak di atas. Yakan?
Lalu, apa yang membuat mahasiswa sastra Indonesia menjadi
unik?
Ini dia: mahasiswa angin-anginan.
OKE, YANG INI PASTI ASING! Kenapa mahasiswa angin-anginan?
Mereka bukan orang-orang yang gak kelihatan wujudnya tapi bisa dirasakan
kehadirannya, bukan. Itu mah horror jadinya! Sebetulnya, mereka adalah bagian
kecil dari tipe mahasiswa kura-kura yang bertransformasi secara gaib menjadi
mahasiswa angin-anginan.
Ini dia penampakannya:
Sebetulnya, mereka adalah anak-anak BEMJ yang habis
melakukan serangkaian acara PKMJ. Baru pulang, masuk angina ceritanya. Dan gak
pake babibu lagi, langsung pada kerokan di kelas. Di mana lagi nemu yang kayak
gini coba?
Loveable
Mau bahagia, coba pacaran sama anak sastra. Titik-koma aja diperhatiin bener-bener, gimana kamu? *tingtingting hahaha!
Serius, ah, serius. Mau nyari pasangan yang kayak apa? Romantis? Puisi mewakili. Jago nyanyi? Bisa dibuatin musikalisasi. Jago akting? Banyak aktor di sini. Yang badannya lentur? Ada penari. Terampil mengabadikan momen? Ada fotografer. Suka yang lihai dengan gambar? Banyak pelukis.
Realis (Tiwi) dan Manga (Malika) |
Sebaik-baiknya jodoh yang ada, ialah anak sastra. Bahagiakan orangtua kalian dengan memberinya mantu anak sastra! Wahahaha!
***
Kami melukis dengan kata-kata. Kami menari dengan pena. Kami bernyanyi di antara rima.
Kami bangga dengan sastra.
Well, gue gak harus menyesali apa pun dari pilihan ini. Karena. Jiwa. Gue. Di. Sini.
Salam sastra,
Pertiwi Yuliana
40 komentar
hahaha tetep paling suka pas bagian terakhir.. quotenya suka bgt
BalasHapusSama yang nulis suka gak? *eeh
HapusGue iyain aja deh tentang mantunya. "Iya, Tiw. Iya."
BalasHapusArsitek sama anak sastra juga cocok kok, Haw. *kibas jilbab*
HapusOh, iya? kenalin dong temennya atu. *ngarep*
Hapussegala sesuatu itu harus di nikmati ya kak?? hehe termasuk jadi anak sastra,kita harus bangga akan itu :D
BalasHapusWoiya doong :D
HapusAda-ada aja kerokan di dalam kelas haduh ini x_x
BalasHapusKurang keren apa coba? :p
HapusGue juga nyaris masuk sastra. Tapi nggak jadi. Well, apapun itu. Semoga kita sukses dengan pilihan kita masing-masing yaaa. :))
BalasHapusKenapa pas kopdar kemaren nggak pake rok, tiw? :p wqwqwq
Aamiin :)
HapusApa, Mit? Rok itu apa, ya? :/
Beh. Asli, deh, lucu sama orang yang menggangap sastra gak berpendidikan. Seriusan. Gue malah mengira anak sastra itu pintar-pintar. Kenapa? Stereotip yang sering gue dengar mengenai anak sastra itu adalah kutu buku. Hahaha. Beda dengan anak teknik, yang gue dengar selalu di setiap kampus. Anak teknik agak brutal. Nyeremin malah.. Gitu.
BalasHapusAda typo-nya. :(
HapusIya, ya? Beda kampus beda tradisi berarti :3
HapusTypo mana? :o
MENGGANGAP, mungkin maksud Rahmat, menganggap. :)
HapusKelas gue juga banyak yang angin-anginan. Yang kerjanya pulang jam 3 pagi, jam 7 udah berangkat ke kampus. :))
BalasHapusHahahaha, ayo ubah stereotype itu, Wi. Kamu pasti bisa! SMK BISA!!!
Bisa, pasti bisaaaa! :)
HapusBtw, gue SMA. Anak IPA yang nyasar ke sastra karena kadung cinta. *tsaaah
Menulis itu sastra... :D
BalasHapusYap!
HapusGue pikir sastra ngebosenin, Tiw. Ternyata..
BalasHapusBukan sastra kalo gak gila, Za :p
HapusKutipan terakhirnya boleh sih, tapi kalo gua sih tetep melukis dengan spidol atau enggak cat tembok :P
BalasHapusEh dulu gua juga pengen banget masuk sastra, eh tapi malah gak jadi karena gua sadar kebanyakan melihat huruf kepala gua pusing. Hahah..
Gue juga masih suka ngelukis pake media lukis beneran kok, Ta. Hahaha!
HapusGue juga pusing, apalagi kalo udah ke hafalan :/
Kak, itu yang bilang anak sastra gak berpendidikan kayaknya bukan dosen, deh. Kalau dosen mah gak bakalan ngomong gitu... Mungkin mereka hanya menjadi dosen secara superfisial saja, belum seutuhnya, muehehehe.
BalasHapusAnyway, salam kenal dan izin follow, yaaa :)
BISA JADI! Hahaha!
HapusKalo di kampus gue anak satra indonesia itu penampilan dan gayanya biasa saja seperti layaknya calon pendidik lainya, mungkin yang agak liar adalah jurusan seni terutama Dekave, Seni rupa, sadesa pkok yg berbau seni gitu lah..
BalasHapusKan.............. kami juga anak seni, Kak. Bukan calon pendidik :/
HapusAda anak sastra yang lagi jomblo buat akuh gak Tiw?
BalasHapusAda, Kak. Pasti ada~~~
HapusJadi inget, dulu banyak orang yang suka ngerasa aneh pas tau aku pengen masuk sastra.. Katanya, "Mau jadi apa ntr? Emang kamu ga ngerti bahasa itu apa? Kalo mau belajar bahasanya, kuliah aja di negaranya, pasti mau ga mau langsung bisa... Ga harus masuk ke sastra kan"
BalasHapusDan impian masuk sastrapun putus, karena ortu juga ga ngizinin -__- .
Tapi untuk anakku nanti, apapun jurusan yang dia mau, asal memang sesuai dengan jiwa dan serius ditekuni, aku bakal support :) Tau banget rasanya ambil jurusan yang ga sesuai jiwa :)
Iya, enggak menyenangkan pasti. Jangan sampai anak-anak nantinya malah merasa terjebak sama hal yang gak sesuai minatnya.
HapusDosenku bilang, "Menulislah! Karena hanya dari karyamu mereka akan mendengar!" :'D
BalasHapusAku bangga jadi anak Sastra. Biar dibilang sering jadi penyair. ._.
Aku dong dibilang sering galau wkwkwk
HapusBagian terakhirnya lebih mantap.
BalasHapushehehe
Hapusahh, jadi fly .. :D
BalasHapusngebayangin nanti jadi anak Sastra Rusia Unpad...
doain ya akang teteh, moga saya masuk tahun ini! :D
sudah masuk? selamat!
Hapusahh, jadi fly .. :D
BalasHapusngebayangin nanti jadi anak Sastra Rusia Unpad...
doain ya akang teteh, moga saya masuk tahun ini! :D
ahh, jadi fly .. :D
BalasHapusngebayangin nanti jadi anak Sastra Rusia Unpad...
doain ya akang teteh, moga saya masuk tahun ini! :D
Gue pikir kalau di daerah aja stereotipe anak sastra ada. Jakarta juga ada ya? Dosen gue malah dari UI. PhD lagi gelarnya di prodi baru dia yg punya gelar PhD sastra Inggris. Itu tanda sastra sebagai ilmu juga ga bisa dianggap main-main. Malah anak sastra yang jago koding ada di kampus gue. Setelah coba belajar baru paham kalau coding is a poetry
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer