“Aku
berada di ruang gelap. Mampu mendengar, namun tak sanggup menatap. Hanya rindu
sang pengepul harap, dalam ceria yang siap mendekap.”
***
“Baru saja aku berbicara pada Dunia, dia
berkata bahwa aku akan baik-baik saja. Tapi, aku tak semudah itu percaya.
Karena kurasa, kini hidupku sia-sia.”
Aku kembali diajaknya
menari, menelusuri jejak-jejak imaji yang sedaritadi menghantui di dalam
kepalanya sendiri. Aku hanya dapat mengangguk setuju ketika dia menghampiriku
lagi dan lagi.
“Semakin hari aku
semakin sadar, perbedaan ternyata memang sungguh menyakitkan. Mengapa aku harus
dilahirkan sebagai aku yang penuh kekang?” tanyanya sembari menatapku dengan
matanya yang muram.
Aku hanya dapat
menggandeng tangannya, dan kembali mengikuti inginnya untuk melangkah pada
tarian berikutnya.
“Kini, aku lebih memilih
hidup dengan orangtua baruku: Sepi dan Sembilu. Mereka lebih mengerti aku ketimbang
mereka yang terdahulu. Dan mereka—tentu saja—selalu berdiri di belakangku. Di
kala aku dipuja maupun dihina tentang segala yang berhubungan dengan
pemikiranku tentang wanita yang dianggapnya berbeda.”
“Wanita? Berbeda?”
tanyaku padanya.
Gadis itu kemudian
menghentikan tariannya, pandangannya menyapu tiap detil ruangan tempatnya
menghirup udara. Gelap. Hanya sebuah lampu kecil di samping kanannya yang
berpendar redup yang seringkali dianalogikannya sebagai pemikirannya sendiri.
Di tengah gelap, dia memancar sendiri.
Namun sayang, tak semua
orang dapat menerima perbedaan. Termasuk pula kedua orangtuanya. Pertama,
mereka tak menginginkan seorang anak perempuan. Mengapa? Karena dianggapnya anak
perempuan tidak dapat berbuat apa-apa.
Keluarganya berasal
dari sebuah suku yang memiliki keyakinan bahwa peran perempuan hanyalah di
sekitar kehidupan rumah tangga, seperti: berdandan, melahirkan anak, dan
memasak. Pendidikan pun tidak seutuhnya diberikan karena hal yang sama. Miris,
bukan? Kemudian kini, gadis itu dihadapkan pada sebuah pilihan—atau
keharusan?—untuk menikah oleh seseorang yang tidak pernah dikenal sebelumnya.
Gadis itu, pemberontak.
“Berbeda. Karena aku
wanita, selalu begitu katanya. Sebab itu aku menciptakan sebuah ruang untukku
sendiri. Aku bebas menari dan menikmati duniaku sendiri. Di sini—di dalam
sebuah ruang yang menjadi bagian dari ruang gelap ini—aku mengumpulkan kembali
puing-puing harap yang sempat tercecer di sepanjang jalan tadi,” jelasnya.
“Tarianmu sungguh
indah, Nona. Aku bangga bisa tetap menemanimu di sini walau masih belum dapat
membuatmu kembali tertawa.”
“Terima kasih atas
segala yang ada, cukuplah sudah kamu mengiringi tarianku di sini. Semoga nanti,
ini bukan lagi sekadar bayang imaji.”
Seandainya
kamu tahu, Nona, bahwa aku menyimpan rasa berlebih yang tak pernah kamu sadari
sebelumnya.
***
Gadis itu, namanya
Rindu. Mungkin nama itu ialah nama yang tepat untuknya yang masih saja bertanya
tentang mengapa harus ada beda yang membebat.
Keadaannya kini
membuatnya terkurung di sebuah ruang gelap. Ruang di mana dia hanya mampu
meraba jawab akan tanya yang masih saja berputar dalam benak. Samar. Dia mampu
mendengar, namun masih belum sanggup menatap. Dia di sana bagai seorang asing
yang tak tahu ke mana arah selanjutnya yang akan dijamah.
Kakinya terpasung di
sana, tetapi dia masih dapat menari dengan indahnya. Sungguh kontras. Dia suka
sekali menari, dan tariannya sungguhlah membuatku jatuh hati. Penuh ironi,
namun tak pernah sedikit pun mengurangi kecantikannya sebagai seorang wanita yang
sangat pantas untuk dicinta. Mungkin mereka hanya belum menyadari, bahwa di
sini ada seseorang yang amat sangat istimewa.
“Masih tetap dengan
keputusan konyolmu itu, Nak?” bapak tua berkumis tebal itu menampakkan sosoknya
dari muka pintu yang terbuka. Mulai menghampiri gadis yang terpasung di salah
satu sudut ruangan yang gelap gulita. Dari cahaya lampu yang redup di
sebelahnya, terlihat tatapan sang gadis yang tajam menatap lurus kepada lelaki
yang dipanggilnya “Ayah”.
Sreet,
sreet, sreet.
Demikian langkah berat
lelaki itu menggema dan memenuhi telinga sang gadis yang masih enggan untuk
membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan retoris yang dilontarkan ayahnya.
Matanya masih tajam seperti biasa, rambutnya yang tergerai menyentuh bahu itu
menutupi hampir sebagian dari wajah cantiknya.
Bapak tua itu merunduk
dan menatap lekat kedua bola mata gadis itu yang semakin membulat. Begitu
pekat.
“Masih enggan
menjawab?”
Ah, pertanyaan retoris
itu lagi. Jelas saja gadis itu akan tetap bungkam. Sudah sejak dua bulan lalu
dia tidak melakukan interaksi apa pun, termasuk berbicara. Diam, diam, diam,
gadis itu hanya tersenyum menyambut pertanyaan demi pertanyaan yang masih terus
saja dilontarkan oleh ayahnya. Ya, senyum khianat. Aku masih percaya bahwa gadis
itu adalah seorang aktris yang hebat.
Lelah telah menjamah
sang ayah, dia membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju di sudut lainnya. Gadis
itu masih memerhatikannya dengan seksama, hingga pada saatnya punggung itu
enyah dari pandangan mata.
***
Mentari mulai
menampakkan sinarnya lagi. Dari celah-celah kecil itu cahayanya mengintip masuk
menjenguk keadaan sang gadis yang masih berada pada alamnya yang tabu.
Perlahan, matanya terbuka. Ah, aku sangat suka mata teduhnya.
“Selamat pagi,” sapanya
dengan suara parau yang khas dari seseorang yang baru saja terbangun dari
tidurnya.
“Selamat pagi, ada
cerita apa lagi hari ini? Ayo, menari lagi!” ajakku.
“Semalam aku bermimpi,
tentang lelaki itu. Lelaki yang hendak dijodohkan denganku. Lelaki itu begitu
banyak dikagumi. Mungkin, mereka akan berkata bahwa aku begitu beruntung ketika
dia telah memilihku sebagai pendamping, namun aku tak pernah sedikit pun
merasakan seperti itu. Mengapa lelaki begitu bebas memilih, ya? Sedangkan
wanita, ya, selalu saja diminta untuk diam. Menunggu itu bukan jawaban, bukan?
Aku lelah. Ruang ini terasa semakin gelap saja.”
“Ke marilah, kamu
memiliki ruang pribadi ini, kan? Tengoklah lagi, kamu bebas di sini. Menarilah
lagi, biar aku temani.” Aku mengulurkan tanganku, menggapai genggamnya yang
mulai rapuh.
Matanya menyiratkan
sembilu. Mungkin, memang kini rasa itu telah mengakar di dalam kalbu. Tetapi
aku tahu, dia jauh lebih kuat dari yang tampak oleh mataku. Aku masih
mengaguminya tanpa celah, karena—mungkin—sudah timbul sebuah rasa yang
dinamakan cinta.
Sesekali aku sangat
ingin bicara padanya, namun aku tahu aku masih terlalu rapuh untuknya.
“Aku berada di ruang
gelap. Mampu mendengar, namun tak sanggup menatap. Hanya rindu sang pengepul
harap, dalam ceria yang siap mendekap.”
Katanya, setiap orang
membutuhkan sebuah ruang pribadi. Katanya, hal tersebut diperlukan untuk
membebaskan pikirannya sendiri. Katanya, katanya, katanya.
Gadis itu tidak
memiliki ruang yang nyata untuk menuangkan pikirannya sendiri, maka itu aku di
sini: menemaninya membentuk sebuah ruang imajinasi. Aku selalu diajaknya
menari, dengan keindahan kata yang dituliskannya di dalam buku ini. Penari yang
sangat mahir. Dia selalu membentuk kata yang menyentil. Sayang sekali
bahwasanya dia harus kehilangan waktu untuk menjadi orang yang terkucil.
Mereka hanyalah pandir.
Mereka yang tidak dapat menyadari bahwa ada seorang istimewa telah hadir.
Hadir di tengah mereka dengan pemikiran yang kikir. Merugilah mereka yang
terlambat manyadari ini.
Nama gadis itu adalah
Rindu, dan kini ruang imajinya bukan lagi sekadar mimpi. Dia dan dunianya
sendiri, membawaku pada sesuatu yang kusebut dengan fiksi.
Ah, ya! Aku belum
memperkenalkan diri. Aku Pena, yang akan selalu setia menemani Rindu
menjelajahi ruang imajinasi.
Bagiku, Rindu tetaplah
Rindu. Pejuang kesayanganku. Aku tahu, cinta ini tidak akan bersatu. Tapi aku
meyakini bahwa kami masih tetap padu walau seringkali diiringi pilu.
***
“...and
I must ask you to imagine a room, like many thousands, with a window looking
across people’s hats and vans and motor-cars to other windows, and on the table
inside the room a blank sheet of paper on which was written in karfe letter
WOMEN AND FICTION...” – Virginia Woolf, A Room of One’s Own
TAMAT
15 komentar
Nice Story :) Visit back ya
BalasHapus*ngedip-ngedip kedua mata depan kompi*
BalasHapusdua kali dibaca padahal, tapi masih belum dapet keseluruhan ceritanya.
yg gue dapet:
-gadsi itu dipaksa menikah
-gadisnya jadi gila
-pulpennya bisa bicara
*aaarrgghhh lama-lama gue yg gila ini*
Poinnya ada di awal, tentang perbedaan. Ini cerpen feminis yang gue bikin buat lomba di kampus pas Hari Kartini. Ya, intinya sih tentang keadaan yang selalu membelenggu kaum hawa bahkan sampe sekarang. Miris.
Hapushaaa... ngerti mama guru.
Hapusakhirnya saya ga jadi gila.
terima kasih :)
Tapi apa iya sekarang pun masih terbelenggu? entah saya yang buta, atau cuma sekadar merasa semua sudah sesuai kodratnya.
Mungkin lo emang gak ngerasain karena lo adalah bagian dari orang yang gak dibelenggu. Gue cewek, terlebih gue belajar soal teori feminisme di matkul teori sastra. Gue baca banyak tulisan tentang feminisme di sana, dan kalau lo bilang begitu, gue bisa aja nyodorin banyak argumen penyanggah, Gimana?
HapusGa perlu sodorin sanggahan, kalo bisa bagiin tulisannya. Kan lumayan bisa nambah pemahaman, dan kalo memang sangat perlu, siapa tau bisa jadi ikutan ngebuat tulisan yang mengangkat tema feminisme.
HapusBoleh, gue emang udah niat untuk memenuhi blog ini dengan cerita-cerita yang mengangkat tentang feminisme kok. Hihihi :p
Hapusterakhir baca cerita ini cuma bisa senyum, ceritanya keren :)
BalasHapusTerima kasih :)
Hapuskeren ceritanya,tapi buat ukuran otak gue kata"nya berat dicerna... :)
BalasHapusKarena bacaan untuk otak kita semakin hari harus semakin meningkat, jadi janganlah belenggu otak kamu hanya pada bacaan standar yang itu-itu aja :)
Hapuslike it. Manteeeppp mbakkk... anak sastra banget... :D
BalasHapusMakasih, Sa :)
Hapustwo thumbs up kak, tulisannya bagus nih :)
BalasHapusTerima kasih, ya :)
HapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer