Sumber Gambar |
Tak ada manusia yang sempurna, setidaknya begitu yang
kutahu dari mereka. Namun, mengapa aku selalu menjadi bahan untuk melampiaskan
kemurkaan atas ketidaksempurnaan yang ada? Ini salah siapa? Salahkukah?
Senja, kali ini kembali
lagi aku menanti semburatmu dari balik jendela. Awan kelabu yang masih
menggantung rendah di bentangan angkasa menyingkirkan seberkas kilau jingga di
atas sana. Namun ternyata, keindahan senja memang tiada duanya. Dia masih saja
memesonaku yang sedang dirundung oleh masalah yang tiada henti menyapa.
Daun-daun di halaman
mulai kuyu, hujan menimpanya tanpa malu-malu. Sejenak, seperti sedang
memikirkan sesuatu. Ah, mungkinkah mereka juga memikirkan hal yang sama
denganku? Tentang mengapa dan bagaimana segala salah selalu tertuju padaku.
Inilah aku, Nada Pramesty, seorang gadis berusia lima belas tahun yang telah digariskan oleh takdir untuk terlahir tanpa kedua kaki. Sepanjang hidupku kuhabiskan di atas sebuah kursi roda yang menopangku sebagai pengganti dari kedua kakiku. Ibuku sangat terpukul saat mendapati kondisiku. Namun, ayah tetap berusaha meyakinkan bahwa bagaimanapun keadaanku, aku tetap sebuah titipan dan karunia dari Tuhan yang harus mereka jaga dan terima.
Tahun demi tahun
berlalu bersama waktu yang mengiringiku tumbuh menjadi aku yang lebih sendu.
Ibu, yang semula telah dapat menerima apa adanya aku kini kembali berubah
seperti dulu. Mengapa? Mungkin, kepergian ayah adalah salah satu penyebabnya.
Ayah, orang yang selalu memberi curahan semangat agar ibu selalu tegar kini
telah kembali pada Sang Pencipta. Satu sosok kepala rumah tangga yang amat
mengagumkan. Walaupun usaha kerasnya untuk membanting tulang selama ini belum
dapat membawa keluarganya ke kehidupan yang lebih layak, namun ayah selalu
mengajarkan untuk tetap bersyukur atas segala sesuatu yang telah didapat.
Setelah ayah meninggal
dunia, ibu bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga di kediaman Pak Ilham—pemilik
galeri lukisan yang cukup besar di kotanya—untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Pak Ilham tergolong majikan yang ramah dan tidak suka membeda-bedakan
status. Beliau menganggapku dan ibu sebagai keluarganya sendiri. Namun, hal
tersebut tetap saja tidak dapat memungkiri perubahan sikap ibu terhadapku. Ibu
bersikap tak acuh seolah tak lagi menginginkan keberadaanku. Dan hal itu sukses
membuat hatiku terguncang tak menentu.
“Kamu hanya bisa
menyusahkan Ibu saja! Ini-itu, semuanya harus dengan Ibu! Kamu sudah besar, seharusnya
kamu bisa membuat dirimu berguna untuk orang lain! Ibu sudah tua, Ibu lelah!”
kata-kata ibu masih melekat erat dan terekam amat jelas di benakku.
Perlahan, aku menghela
napas panjang. Ada yang bergemuruh di dalam sana, ingin muncul ke permukaan
namun masih enggan untuk diperlihatkan. Wujudnya, kini menjelma air mata. Aku
bergumam pada malam yang mulai merangkak di atas sana.
“Aku memang tidak
seperti anak-anak yang lain, Bu. Aku hanya bisa menyusahkan Ibu. Namun, kurasa
kau perlu tahu bahwa aku amat sangat menyayangimu melebihi apa pun di dunia
ini.” Aku mulai terisak, sesak. Bendunganku runtuh, butiran air mata itu mulai
jatuh. Aku mulai rapuh.
Tak pernah sedikit pun
aku memiliki maksud untuk membuat orang yang kucintai bersedih hati. Tak pernah
terbesit niat untuk menyulut api amarah. Namun, inilah kondisiku. Mungkin, aku
memang tidak memiliki fisik yang sempurna. Namun untuk ibu, aku akan selalu
berusaha menjadi manusia sempurna yang akan membuatnya tersenyum bahagia.
Aku rindu dekapan
hangat ayah. Kadang ketika aku mencapai titik lemah, ingin rasanya aku menyusul
ayah ke surga. Dan kemudian, aku berharap agar hembusan angin malam dapat
menyampaikan pesan hatiku pada ayah.
Seandinya waktu dapat diputar
kembali dan aku dapat memilih serta menentukan takdir hidupku sendiri, aku pun
tidak ingin dilahirkan sebagai seorang penyandang disabilitas.
Tapi, apalah daya yang dapat kulakukan? Aku hanya gadis belia biasa yang tak
sedikit pun memiliki kuasa atas takdir di dunia. Hanya satu zat yang dapat
melakukan dan mewujudkannya, Tuhan Yang Maha Esa.
Namun satu yang kutahu,
Tuhan tak akan membiarkan umat-Nya menderita. Selalu ada keindahan di balik
ketidaksempurnaan yang ada. Tinggal bagaimana kita menguak hal tersebut agar
muncul ke permukaan. Karena setiap manusia pasti terlahir istimewa.
Di tengah isak tangis
yang semakin berkuasa atas keheningan, aku dikagetkan oleh satu tangan yang
menyentuh bahu kananku. Aku yang sedikit terkejut dengan hal tersebut segera
menghapus sisa-sisa air mata di pipiku sebelum aku berpaling menghadap satu
sosok di belakangku.
“Sendirian?” tanya Pak
Ilham.
"Iy-iya,
Pak," jawabku.
"Habis
nangis?" Pak Ilham menyejajarkan posisinya di sampingku. Aku terdiam,
tiada aksara yang mencuat dari bibirku. Entah, aku tak ingin Pak Ilham tahu
kesedihanku.
“Kenapa sedih?” lelaki
itu kembali bertanya, matanya menerawang jauh menembus langit malam yang sendu.
Aku masih bergeming,
lidahku seakan membeku dan kaku. Tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun yang
kumau. Diam, tertunduk seolah menahan malu. Malu? Bukan! Lalu apa? Entahlah, aku
pun tak benar-benar mengetahui maksud dari semua gerak-gerikku. Pak Ilham
berpaling menatapku, memandang iba seolah tahu apa yang sedang dirasakan olehku.
Diusapnya perlahan rambut ikal yang tergerai menyentuh bahu. Hati-hati, sangat
hati-hati.
Pak Ilham, beliau
adalah seorang duda yang ditinggal pergi oleh istri tercinta menghadap Sang
Pencipta. Sayangnya, mereka belum memiliki keturunan yang sesungguhnya amat
sangat didamba. Terpukul, namun beliau mampu bangkit kembali dengan segala
motivasi yang didapatnya. Kesetiaan yang amat mengesankan, bertahun-tahun
berlalu, namun tak ada sedikit pun niat yang tersirat untuk mencari pengganti.
Beliau telah menyimpan kata-kata cintanya dan mengukir keabadian pada epitaf
yang tak akan lekang termakan usia.
“Bapak, saya boleh
bertanya?” ragu-ragu kukeluarkan kalimat tanya itu.
Senyum ramahnya masih
saja setia bertengger di bibir pria paruh baya itu, “Tentu.”
“Bapak sendirian di
rumah sebesar ini, terlebih harus mengurus galeri yang sedemikian megahnya,
kenapa Bapak bisa bertahan untuk tetap sendiri?”
“Itu mudah, Nak. Karena
cinta saya hanya satu dan telah termiliki. Saya tahu, raganya memang sudah
tidak di sini. Namun, cinta dan jiwanya masih selalu mengiringi.”
Aku takjub sendiri
mendengar jawaban dari pertanyaanku tadi. Pria di sampingku ini memang luar
biasa sekali. Kini aku benar-benar malu, aku terlalu lemah karena selalu
mengeluh. Tugasku, membahagiakan ibu. Bagaimanapun itu. Aku tahu, aku pasti
mampu.
Senyumku mulai
tersungging, membalas tatapan bulan sabit yang mulai tampak di balik awan hitam
selepas hujan tadi.
“Hey, kok tetiba
senyum-senyum sendiri?” tanya Pak Ilham, rupanya beliau memerhatikan perubahan
mimik pada wajahku.
“Tidak, Pak.
Terimakasih, ya!” kuberikan senyum terbaik yang kupunya untuk pria itu.
“Untuk apa?”
“Saya menyadari akan
suatu hal berkat perbincangan singkat kita malam ini.”
“Hahaha! Tentang ibumu,
ya? Saya tahu, dia hanya masih terpukul. Kamu harus selalu yakin bahwa ibumu
akan selalu memiliki cinta untukmu.”
Aku
mengangguk setuju. Senyumku semakin mengembang dengan begitu menggebu. Hatiku
kembali bergemuruh. Bukan, bukan lagi sendu. Ini adalah rasa di mana aku
berjanji pada diriku untuk mengembangkan pula senyum ibuku. Sesederhana
inginku, itulah bentuk cintaku pada ibu.
***
Ukuran
paling puncak bagi seseorang bukanlah di mana ia berdiri pada saat-saat paling
menyenangkan, tetapi di mana ia berdiri ketika tantangan dan kontroversi hidup
mulai datang.
Sore
yang tampak indah di luar sana membawa suasana riang yang tak terelakkan. Aku
dan ibuku sedang sibuk membereskan sisa-sisa cat minyak dan kanvas di ruangan
pribadi milik Pak Ilham. Seakan lupa akan tugasku, aku malah asyik menarikan kuas
dengan warna-warni yang memesona mata di
atas kanvas. Seiring dengan nada-nada riang yang tercipta secara spontan dalam
benak, aku terus menuangkan segala rasa yang tersimpan ke dalam sebuah lukisan.
Diam-diam,
dari balik pintu itu ternyata Pak Ilham melihat apa yang sedang kulakukan. Mungkin,
Pak Ilham merasa telah menemukan bakat baru di atas kursi rodaku. Perlahan,
beliau menghampiri dengan senyum khasnya.
“Mengagumkan!
Semua goresan yang kamu ciptakan menggambarkan emosi yang tumpah ruah. Kamu
berbakat, Nak!” Pak Ilham menepuk-nepuk pundakku perlahan dengan mimik
sumringah yang tak henti ditunjukkannya.
“Benarkah?”
“Iya,
kamu mau belajar lebih banyak tentang lukisan dengan saya? Saya yakin, suatu
saat kamu akan memiliki sebuah pameran yang indah.”
Aku
sedikit bimbang, kutengok keberadaan ibuku yang rupanya tengah memerhatikan
kami dari tempatnya berdiri. Anggukannya adalah sesuatu yang kutunggu. Lebih
dari yang kumau, lebih dari anggukan ibuku, beliau tersenyum padaku. Tipis,
namun tetap terlihat manis. Ah, sudah berapa lama aku tak melihat wajahnya
merona indah seperti itu? Awal yang baik, menurutku. Kutahu, jalanku akan manis
untuk ibu.
***
Sumber Gambar |
Beberapa
tahun berlalu, masih bertempat di galeri lukisan Pak Ilham.
Gadis
berseragam putih abu-abu itu memasuki pintu galeri dengan sebuah katalog
lukisan yang tergenggam di tangannya yang lembut. Hari itu, sekolahnya
memulangkan seluruh murid lebih dulu terkait akan diadakannya rapat guru. Masih
terlalu pagi baginya untuk sampai di rumah. Kebanyakan teman lainnya memilih
menghabiskan waktu di mall atau bioskop, tetapi gadis itu—Dyan Kinanti—lebih
memilih untuk mengunjungi galeri lukisan yang didengarnya sedang mengadakan
sebuah pameran besar.
Langkahnya
terhenti di hadapan sebuah lukisan yang tampak janggal.
“Lukisan
ini sepertinya belum selesai,” gumamnya pada dirinya sendiri.
“Lukisan
itu telah selesai,” tetiba ada suara lain yang menghampirinya.
“Eh,
hm... tapi bagian putih ini bukan cat, ini memang belum tersentuh cat sama
sekali,” jelasnya sembari menunjuk pada bagian kosong pada kanvas di
hadapannya.
“Kamu
jeli sekali, ya?” gadis bergaun putih yang sangat cantik itu pun tersenyum
dengan begitu memesona.
“Maaf,
Kak. Saya hanya penasaran akan maksud dari pelukisnya.”
“Baiklah
kalau begitu, kamu bertemu dengan orang yang tepat. Sayalah pelukisnya,” ucap
gadis bergaun putih itu sembari menjulurkan tangan hendak menjabat tangan Dyan.
“Wah,
kehormatan bagi saya bisa bertemu dan berbincang dengan pelukis hebat seperti
Kakak. Kau begitu cantik, Kak, seperti lukisanmu. Sempurnanya hidupmu.”
“Hahaha!
Apa kamu benar-benar tertarik dengan lukisan ini?” tanyanya sembari memalingkan
wajah menatap kembali lukisannya.
Dyan
hanya menjawab pertanyaan tersebut dengan sebuah anggukan semangat.
“Lukisan
ini saya tujukan untuk orang tua saya. Orang tua yang telah mengasuh saya sejak
kecil. Ini adalah gambaran tentang mereka. Semburat merah menunjukkan
kemarahannya, goresan hitam adalah gambaran kesedihannya, bercak kuning adalah
kebahagiaannya, merah muda dan ungu adalah kasih sayangnya pada saya, abu-abu
adalah kekecewaannya pada saya yang selalu merepotkannya, dan bidang yang belum
tersentuh cat ini...” kalimatnya terhenti dan wajahnya berubah sendu.
Dyan
terdiam, memerhatikan perubahan mimik pada wajah gadis di sebelahnya. Dia hanya
dapat mematung menunggu kelanjutan dari penjelasan gadis itu. Beberapa detik
kemudian, gadis itu menarik napas dalam-dalam dan.....
“Bidang
kosong ini adalah ruang lebar di mana saya merasa belum memberikan apa-apa
untuk orang tua saya, saya belum berhasil membahagiakan dan membanggakan
mereka,” dia menundukkan wajahnya dan sedetik kemudian dia kembali
menyunggingkan senyuman. “Sekian. Terima kasih,” lanjutnya menutup
penjelasannya.
Perlahan,
sebutir air mata menetes dari sudut mata kanan Dyan. Tangannya mulai bertemu
hingga menimbulkan suara prok-prok-prok
yang lembut. Kali ini, kekuasaan atas diam dipegang oleh haru.
“Kak,
kau begitu hebat,” pujinya.
Gadis
itu hanya membalas pujian tersebut dengan sebuah senyuman. “Maaf, saya harus
pergi.”
Dyan
mengangguk. Mungkin, ada pengunjung lain yang ingin bertanya tentang
lukisannya, pikirnya. Dyan kembali menikmati keabstrakan yang begitu jelas dan
indah pada lukisan itu, hingga...
“Saya
perhatikan, sepertinya kamu begitu mengagumi lukisan ini, Nak?” tanya seorang
bapak tua dengan setelan khas seniman yang dikenakannya, Pak Ilham.
“Ah,
iya. Baru saja saya berbincang dengan pelukisnya sebelum Bapak datang. Dia
begitu mengagumkan. Pesan dari lukisan ini begitu sempurna, Pak. Beruntungnya saya
bisa berjumpa dengannya.”
“Berjumpa
dengan pelukisnya?” tanya Pak Ilham, heran.
“Iya,
baru saja,” Dyan memutar kepalanya, menyapu ke setiap sudut yang dapat
dilihatnya. “Mungkin dia sedang berbincang dengan pengunjung lain, kakak cantik
bergaun putih itu tadi berjalan ke arah sana,” Dyan kembali menjelaskan sembari
menunjuk ke satu arah.
“Kamu
pasti salah orang, Nak.”
“Tidak,
Pak! Saya benar-benar berjumpa dengannya tadi.”
“Hm...
coba kamu buka katalog itu. Lihat keterangan dari lukisan ini. Di dalamnya
tertulis kata Almh, kan? Pelukis
lukisan ini telah meninggal tiga bulan lalu, Nak.”
Dyan
tersentak kaget, matanya membulat dan mencoba untuk memerhatikan lebih seksama
lagi setiap detil keterangan yang ada di katalog perihal lukisan tersebut.
Benar. Pak Ilham memang benar. Jadi, tadi....
Gadis
berseragam itu kembali mengedarkan pandangannya. Kali ini ditemukannya sesosok
gadis bergaun putih yang tadi ditemuinya, Nada Pramesty. Dia berdiri di salah
satu sudut galeri, dengan senyuman indah dan lambaian tangannya pada Dyan.
Sekejap kemudian, dia menghilang entah ke mana. Dyan, lututnya melemas
seketika.
“Lihat
ibu tua yang duduk di sudut sana?” Pak Ilham bertanya sembari menunjukkan
keberadaan seorang ibu dengan senyumnya yang cantik memandang pengunjung yang
lalu lalang di hadapannya. “Beliau adalah orangtua yang sangat beruntung karena
memiliki putri yang sangat berbakat seperti Nada, pelukis dari lukisan yang tak
terselesaikan ini. Sebentar lagi beliau akan berangkat haji, semuanya dari
hasil pameran lukisan ini. Cita-cita Nada terpenuhi, walau raganya sudah tidak
lagi di sini.”
Dyan,
pandangannya kembali terpaku pada katalog itu, “Bagaikan angin, cinta mengembuskan sejuknya keindahan. Memiliki cita
rasa seperti coklat, manis dan pahit. Membentang luas seperti pelangi yang
berwarna-warni. Perjuangan akan cinta memang tak akan pernah berujung derita.
Tinggal bagaimana kita memaknai tiap sakit yang menyapa pada perjalanan yang
ada. Untuk Ibu dan Ayah, inilah bentuk cintaku untuk kalian yang terindah.
Salam, Nada.”
Itu
adalah pesan yang disematkan Nada di balik lukisan yang tak terselaikan itu.
Bahwa cinta akan selalu berujung bahagia.
Telepon
genggam Dyan berbunyi, pada layarnya tertera nama “Mama”.
“Ma,
love you as always!” Dyan segera
berlari keluar galeri. Rindu akan pelukan mama, langkah kaki menuntunnya untuk
pulang.
TAMAT
NB: Sudah memeluk orangtuamu hari ini? :')
28 komentar
abis baca cerpen ini aku mau peluk ibu :')
BalasHapussepertinya banyak ruang kanvas yg blm tertutup cat di lukisan yang aku buat :(
SemangART, Mas :)
HapusSuka bgt! Makasih udah nulis :)
BalasHapusTerima kasih juga sudah menyempatkan diri untuk mampir :)
HapusBanyak banget makna yang bisa diambil, perjuangan itu gak pernah bohong, kasih sayang orang tua gak pernah ragu - ragu, hubungan cinta yang kuat gak akan pernah putus. Untuk orang - orang yang tidak seberuntung saya, bahagiakan orang tua kalian selagi masih ada :)
BalasHapusIya, Kak. Terima kasih :)
Hapusihik ihik nyentuh banget. baca ini sambil nangis :")
BalasHapus*sodorin tisu* :')
Hapusterus tuangkan senimu dalam bentuk sastra, aku mendukung :)
BalasHapusPasti. Terima kasih, Kak :)
HapusNgena tulisannya, tapi kurang berefek mungkin karena saya bacanya nggak konsen, tapi sungguh keren.
BalasHapusHehe makasih
HapusSatu kata, keren. Terus berkarya ya! :)
BalasHapusPasti! Makasih :)
HapusAh gitu ya ternyata arwahnya muncul hahaha. Awalnya heran kok Ibunya jahat padahal biasanya kan Ibu lebih pengertian ke anaknya, ngga marah-marahin :))
BalasHapusNgga usah bilang keren kayanya ya Mbak udah sering pada bilang gitu kan hahaha
Gak semua ibu itu baik, Kak. Realitanya kan begitu hahaha
HapusSisi baik pasti ada, tapi yang menonjol yang mana kan belum tentu selalu yang baik. Ceritaku akan mengambil unsur-unsur realita :)
Terima kasih, ya :*
Perlahan, sebutir air mata
BalasHapusmenetes dari sudut mata kanan Dyan.
ini gak cuma sudut mata Dyan, tapi juga gua.. u,u pakek acara barengan lagi. *nyobektisutoilet*
*free pukpuk* :')
Hapusngga bisa peluk ibu. Ibu di seberang pulau :(
BalasHapusUwuwuw sini sini peluk aku
Hapuspesannya Nada inspiratif banget, mbak. memang suatu saat rasa sakit pasti akan tergantikan rasa suka cita dan cinta pasti berujung bahagia :))
BalasHapusIya, Kak. Terima kasih :)
HapusKeknya aku pernah baca ini deh, tapi dimana yak, mahahaha
BalasHapusDi e-mail, Li >,<
HapusPadahal awalnya udh ketebak pasti jadi pelukis hebat dan udah agak kecewa aja, ternyata akhirnya malah gak terduga :D apalagi waktu sudut pandangnya berubah jd orang ketiga, agak bingung tapi jadi menjelaskan semuanya
BalasHapusKeren ceritanya, bikin terharu hahaha, nada bener2 sosok yg inspiratif
Hehehe wah, ketebak, ya? Duh, aku setengah gagal :p
HapusTerima kasih, Kak :)
sangat menyentuh sekali. blog yang sangat luar biasa.
BalasHapuskamu juga bisa mampir di blog ku marcelliusrangga.blogspot.com
Terima kasih :)
HapusSiaap!
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer