Hari pertama, aku masih mematri
sebuah nama. Memunggungi kenyataan bahwa kau bukan lagi siapa-siapa. Aku masih
dibalut luka, mencoba menerima sebuah kata “tiada”. Di bawah terpaan senja, aku
mangais puing-puing kita. Kita yang dahulu pernah ada. Kita yang sempat
malayangkan harap bersama. Kita yang pernah menjadi kita.
Hari kedua, aku masih mencoba
memulihkan luka. Sayang, aku melihatmu di sana. Bersama seorang wanita yang
cantik jelita. Jujur saja, luka hati ini masih menganga. Dan perihnya, dia
harus kembali menjerit melawan duka. Mungkin, ini salahku yang masih saja
menunggu. Menunggu kamu hadir di hadapanku dengan setangkai mawar merah dalam
genggamanmu layaknya malam itu. Malam di mana kamu memintaku mendampingimu di
bawah kesaksian purnama yang sendu. Kamu, aku rindu.
Hari ketiga, aku berbicara pada
senja.
“Aku mencintainya tanpa mengapa
dan karena, Senja.”
“Bagaimana dengannya?”
“Entah.”
“Cinta di dunia ini selalu
diiringi alasan, Dinda.”
“Mengapa?”
“Karena jika cinta serupa yang
kau katakan, maka tidak akan ada yang namanya perpisahan. Dinda, kau
mencintainya karena suatu hal, tentu saja. Dan kemudian dia meninggalkanmu
karena alasannya untuk mencintaimu pun telah menghilang. Sesederhana itu.”
Senja mungkin benar, hanya rasaku
saja yang masih liar. Masih mengakar dan terus menjalar pada kesalahan yang
fatal.
Hari keempat. Semakin menuju pada
titik itu, bayangannya kian hari kian merapat. Membebat rasaku yang terus
terikat. Aku sekarat. Bersama ceceran kenangan yang dahulu kuartikan dengan nikmat.
Aku dijerat, bersama sepi yang mulai menyesap dalam sebuah syarat. Tersirat
sebuah pesan untukku agar segera meninggalkan sebuah tempat yang membuatku
berkarat. Aku tersesat.
Hari kelima, aku mencoba
melangkah. Walau sesungguhnya, kepala ini masih saja ingin berpaling ke
belakang. Masih ingin melihat apa kau akan menumbukkan mata ke arah aku
berjalan. Masih ada secercah keyakinan bahwa jalan kita akan searah. Tapi aku
mulai lelah, denganmu yang masih saja melawan arah. Padahal, telapak tangan
yang hangat ini menanti untuk kau genggam kembali. Padahal, pintaku hanya
sesederhana ini.
Hari keenam, aku terdiam. Malam-malamku
ternyata tidak kelam. Masih ada gemintang yang cantik yang tentu saja tidak
akan membuatku geram. Ya, aku terlambat menyadari dan terlalu mendewakan muram.
Ternyata, semesta masih mendorongku untuk tersenyum sembari menikmati keindahan
alam.
Hari ketujuh. Ini harimu, Tuan? Undangan
itu berada di tanganku. Aku berjalan menghadiri resepsi pernikahanmu. Ah, kau
di situ. Bersama wanita cantik yang kulihat beberapa waktu lalu. Mungkin kau
masih sama, Tuan. Masih tidak memedulikan aku yang merindumu. Namun aku tahu,
kakiku telah kuat menopang masa lalu. Tentangmu dan segala keindahan semu. Ini aku,
yang dahulu pernah seiring denganmu. Ini aku, yang sekarang telah tegak
menjabat tanganmu. Ini aku, yang dahulu pernah kau janjikan duduk di pelaminan
ini bersamamu. Ini aku, aku yang sudah bukan lagi aku yang dulu.
Kenangan itu jelas saja akan
terkuak selama beberapa saat. Namun, aku sudah berlatih untuk menutupinya
dengan senyum khianat. Ah, aku mungkin adalah seorang aktris yang hebat.
Di saat semua sibuk mengagumimu
dan pasanganmu, semu menyapaku.
“Selamat datang pada sayat
sembilu, Nona!”
“Ah, kau masih mengiringiku kan,
Tuan? Kita masih berdua.”
“Kau yakin akan tetap tegar?”
“Tidak pernah seyakin ini
sebelumnya.”
“Bagaimana bisa?”
“Karena senja telah membantuku
membuka mata akan sebuah alasan yang dimilikinya.”
“Alasan?”
“Ya, cinta membutuhkan alasan.
Kecuali cinta absolut yang dimiliki oleh Tuhan.”
Kemudian, semu kembali bungkam dan
menggandengku dalam diam. Dia tersenyum dan menggangguk untuk menyetujui
tindakku yang tak lagi terpaku pada sesuatu yang dianggapnya buruk. Kami di
situ, diiringi senandung angin malam sembari melihatmu. Dan juga wanita cantik
di sampingmu. Selamat. Semoga bahagia sampai malaikat maut menjemput kalian
dengan khidmat.
Salam,
Perindu masa lalu
*cerita ini bukan berdasarkan kisah nyata*
29 komentar
Flash fiction itu bukannya penggalan cerita, tapi sudah mewakili karakter, latar, konflik dan resolusi ya? Ah entahlah, aku juga masih belajar hehe.
BalasHapusHm... menurutmu, ini engga?
HapusDuhh.. saya nggak tau, masih belajar hehe
HapusHahaha komen gitu kirain lebih ngerti. Gue masih belajar juga soalnya.
Hapusduh wi. curhat ye? hahaha
BalasHapuskata2 lo puitis amat dalam menggambarkan perasaan. coba deh dibuat lebih ke alamiah aja. pasti lebih keren :)
GAK CURHAT!-_______-
HapusLebih ke alamiah gimana?
kalo kata para pencerita, sefiksi-fiksinya cerita, tetap ada kisah nyata yang pernah dialami di dalamnya. Gue anggep yg ke-7 fiksi, hari 1-6 nyata.
BalasHapusGak bener ish........ tapi gak salah juga sik.
HapusAh, gak tau ah! *peperin upil ke Haw*
nyeess...!!!
BalasHapusini postingan kado buat mantannya ya kak?? :D
Bukan. Ini beneran fiksi kok, sumfeeeh!
HapusDiksi nya bagus, isi nya menarik and i cry when read it. Keep writing, nona! :')
BalasHapusAs you wish, Ma'am! Thank you :*
HapusAduh tiwi bacanya ikut bikin teriris-iris deh
BalasHapusPinter banget sih milih diksinya. Suka deh :D
Ah, terima kasih, Kak Ica :D
HapusMau ngobrol soal feminisme, nih >,<
Ayo ngobrol soal feminisme hehe
Hapuskapan kapan?
Hayuuuk! Aku syiap! Aku syiap! :D
HapusSip sip aku pun kapan saja siap :D
Hapussalah satu hal yang tidak menyenangkan adalah terjebak di masa lalu, ya kayak lagunya raisa "ku terjebak di ruang nostagia"
BalasHapustisu mana tisu...
Ingat, ini bukan kisah nyata ._.
Hapuspemilihan katanya bagus2 banget.. dan ini juga bisa masuk kategori flash fiction kok.. IMHO, FF tuh yg penting ngetwist n ngga terduga..
BalasHapusmaen2 ke ketikakuberkata.blogspot.com ya? aku juga sering bikin FF :)
Wah, makasih kunjungannya :)
HapusNanti aku kunjungi balik, ya :)
Tiw, kayaknya cerita ini kalau dicocokkan dengan puisiku yang ini >> http://penggembalakata.blogspot.com/2013/12/di-tepi-sungai-loire-dan-senja-yang.html
BalasHapusCocok juga, kita jodohin apa gimana nih ? Hmm... :)
Senjamu indah, Tuan!
HapusMari berbesan! :D
Mari berbesan, dan biarkan sinar jingga menjadi saksi keindahannya. :D
Hapus<<< Sudah speechless :')
HapusSelamat menikah tuan, semoga berbahagia kau senja~
BalasHapusnice words. wonderfull :))
Danke :)
Hapusijin komen di blog momod jamban blogger :)
BalasHapuskata kata ini yang keren kalau kata aku
"karena senja telah membantu membuka mata akan sebuah alasan yang di mlikinya"
Makasih, ya :)
HapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer