Klik!
Dan
jiwaku kembali melebur, berbaur.
Aku, kamu, kita pernah
berada pada suatu masa yang sama. Masa di mana kita menapaki sebuah permulaan
dengan harapan berujung pada sesuatu yang indah. Kita pernah melinting
gulungan-gulungan mimpi bersama dengan maksud agar sampai lebih cepat pada
tujuan yang kita harap. Kita pernah melukis indahnya senja di muka perapian
yang sama. Sembari menikmati gemericik api yang menyapa tanpa lelah. Kita
pernah menemukan “kita” dan manikmati keberadaan “kita” dalam wujud nyata.
Sungguh, dalam sebuah
kotak memori itu aku masih menyimpannya: tentang rindu yang menjelma luka,
tentang harap yang berujung khianat. Lilin itu masih menyala. Walau redup,
namun aku berjanji akan selalu menjaganya agar tetap hidup. Di ujung lorong itu
dia berseru lirih, menanti kamu untuk kembali menyalakan lilin-lilin lain dan
kembali menerangi lorong ini. Di mana? Di mana, Kamu? Di mana, “Kita”?
Pagi, kulihat pantulan
bayang wajahku di dalam cermin. Aku ingin kembali mengulik senyum yang dahulu
sempat terukir. Aku tahu, dia masih ada dan menepi. Mungkin, hanya menanti
waktu yang tepat untuk kembali ke permukaan dan menyambut sapaan imaji. Pias,
wajahku pucat pasi. Ya, layaknya seonggok daging yang siap untuk mati. Diterkam
kenangan, dijerat luka, dihempas mimpi.
Kamu pernah datang
dengan senyum riang. Menyambut sejumput aku yang masih meragu dengan sebuah
kehadiran semu. Matamu, pendar lain selain mentari yang nyatanya tak pernah
bosan untuk kunikmati. Entah, kamu memang lain. Di antara sunyi, kamu menyembul
sendiri. Menghampiri aku yang masih sedingin salju di tengah gurun siang itu.
Kamu pernah membuatku tertawa...... dan sudah pula membuatku terluka.
Lalu apa lagi, Sayang?
Kamu menghilang entah ke mana, tanpa jejak yang kamu tinggalkan untuk kucari
kelak. Di sini, aku termangu dalam sekilas bayang yang mengekang. Kemudian kamu
masih melayang-layang bersama angan yang menggila di atas kepala. Mengapa tak
kembali saja? Aku masih ingin mencumbui senyummu yang selalu terlalu indah
untuk kukenang.
Aku masih di situ,
mengais sisa-sisa keindahan yang dulu pernah menemani kita melangkah. Menyesap
perlahan cairan luka dan berusaha untuk menikmatinya sebelum cangkir itu kembali
pecah. Lama... lama... hatiku ternyata semakin tak bercelah. Hanya satu nama
yang masih enggan untuk sirna. Sampai pada epitaf yang nantinya akan kuukir di
bawah pijar senja yang indah. Kemarau tak pernah menyisakan luka sampai ketika
tiba saatnya kamu enyah.
Tok...
Tok... Tok...
Entah sudah berapa kali
pintu kamarku diketuk. Ah, apa dia tak tahu bahwa aku sedang sibuk? Iya, sibuk
menata kembali perasaanku yang semakin berkecamuk. Dalam diam aku menggagahi
pagi yang semakin menusuk. Luka masih ada di situ, di tempat yang tak
seharusnya yang hanya membuatnya semakin busuk. Waktu, bisakah bantu aku
menghentikan keadaan agar tak memburuk?
“Nak, kamu sudah bangun
atau belum, sih?” tanya wanita renta
di balik pintu yang masih belum menyerah sebelum mendengar suaraku.
“Yes, Ma’am!”
“Cepat rapikan dirimu!
Lihat, jam berapa ini? Mau berapa kali lagi kamu merusak hari pertama kerjamu,
Nak?”
Mau berapa kali lagi kamu merusak hari pertama
kerjamu, Nak? Ah, Ibu, kata-katamu memang selalu
ampuh untuk membuatku bangkit dari singgasana kemalasanku. Dengan langkah
satu-satu yang bisu, kaki-kakiku seolah tahu ke mana tempat yang akan kutuju.
Kuputar sebuah keran berwarna biru dan seketika itu pula bulir-bulir itu
berjatuhan dari shower yang berada
tepat di atas kepalaku. Kutengadahkan wajahku, bulir-bulir air itu seolah
menampar aku dan keinginanku yang masih berharap untuk kembali ke masa lalu.
Tiada ada yang tahu, ada bulir lain yang menyelinap dan bercengkerama bersama
saat itu: air mataku.
Katanya, lelaki itu
harus selalu kuat. Nyatanya, aku tak dapat berkhianat bahwa lelaki pun tak
ingin dibebat: oleh keadaan yang harus melulu kuartikan sebagai nikmat. Ada
sisi lain di mana aku terjerat. Terus meronta hingga akhirnya aku lelah karena
beban yang kupikul begitu berat. Lama kupendam rasa, dan ternyata kuasa masih
berpihak pada khianat.
Kuseka sisa sabun yang
masih menempel di tubuhku hingga lenyap jatuh bersama air ke tempat yang
seharusnya. Seandainya saja menyeka luka pun dapat kulakukan dengan mudahnya,
pasti tak akan ada yang menyayat hati hingga seperih yang kurasa. Namun harap
tetaplah harap, nyatanya aku sedang diselimuti perih yang tak kunjung mereda.
Kulingkarkan jam di
pergelangan tangan kiriku, aku sudah kembali rapi dan siap untuk pergi dari
kediamanku yang nyaman ini. Semoga kali ini perih tidak berulah lagi.
***
Switch!
Senja di sini ternyata
tak seburuk yang kukira. Meja kerja yang menghadap jendela agaknya mengetahui
inginku untuk selalu menatap langit di luar sana. Awan mendung
menutup langit senja yang banyak dikagumi. Cahaya jingga dan kuning serta
semburat merah yang indah itu menghilang entah kemana. Kawanan burung yang
terbang dengan pola menawan pun seakan enggan menampakkan wujudnya. Hawa dingin
menusuk sampai ke tulang. Dari balik jendela itu dapat kulihat keadaan di luar
sana. Muram. Suasana yang senada dengan suasana di dalam sana.
“Nita, bisa bantu aku
sebentar?” Pak Riza menyembulkan kepalanya dari balik pintu, dengan kacamata
kotak yang serasi dengan wajah tampan dan rambutnya yang disisir klimis ke
kanan.
“Baik, Pak,” aku
menghampiri Pak Riza dengan senyum ramah.
“Kamu bisa bantu sortir berkas-berkas ini, kan? Kalau kamu bingung, bisa kamu tanya
ke Pak Faisal.”
“Baik, Pak, saya
mengerti.”
“Baik, terima kasih.”
“Kembali,” balasku
dengan senyum yang kubuat sebaik mungkin.
“Semoga kamu betah
bekerja di sini, ya.”
“Saya harap juga
demikian, Pak. Mohon bimbingannya, terima kasih.”
Pak Riza pergi
meninggalkanku dengan tumpukan berkas di atas meja yang harus kurapikan. Ujung
mataku masih menangkap sosok lelaki itu hingga wujudnya benar-benar menghilang
di balik pintu. Pak Riza adalah seorang eksekutif muda yang sukses dan berkepribadian
menarik, menurutku. Sebagai seorang wanita yang selalu ingin tampil sempurna,
seharusnya sosok Pak Riza bisa dengan mudah masuk ke dalam dada. Namun tidak,
aku masih setia.
Aku hanya pernah bertemu
dengannya satu kali, pada masa kuliah saat kami masih sama-sama bisu soal
cinta. Aku menangkap sosoknya yang indah dan tak tertandingi oleh siapa pun.
Rasa itu masih kutemui, hingga saat ini. Saat di mana aku seharusnya telah
memiliki pendamping untuk masa depanku nanti. Tapi hatiku masih dikelilingi
jerusi besi, yang di dalamnya hanya ada satu nama yang terpatri. Kamu. Ya,
kamu.
Kita pernah menapaki
mula dengan cara yang berbeda. Aku di belakangmu, menyapu tiap jejakmu dengan
jejakku. Aku di belakangmu, mendorong dengan semangat agar jalanmu tetap laju.
Aku di belakangmu, masih setia menanti kamu berbalik dan menyadari bahwa di
situ ada aku. Aku masih bisa merasakan kehadiranmu dalam wujud semu. Melinting
gulungan-gulungan mimpi bersama yang dikumpulkan satu persatu. Jaraknya masih
jauh? Mungkin, namun aku percaya selalu ada pelangi selepas hujan.
Luka masih enggan untuk
pergi. Sungguh, aku butuh kekuatan lebih untuk menopang lajuku agar dapat tegak
kembali. Bukan, bukan karena wanita selalu lemah. Tapi memang ada kalanya di
mana wanita membutuhkan sesuatu untuk bersandar. Untukku, kamu contohnya. Aku
telah mencoba bangkit sendiri, bersama pilu yang mengiringi jejakku dan senyum
palsu. Aku tak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini, jadi ini rasanya sebuah
harap yang tergerus waktu yang terus melaju? Meninggalkan jejak-jejak kasih dan
serpihan harap pada sepanjang jalan yang pernah kita lewati dalam pertemuan
singkat masa lalu.
Aku mengagumimu hingga
ke palung hati. Hingga yang terdalam yang pernah ada di sini. Namun, apa kamu
tidak pernah menyadari? “Kita” pernah ada pada tempat yang sama. Apa kamu lupa?
Saat kita saling bercengkerama pada waktu singkat yang tak mungkin terhapus
begitu saja. Aku masih mengenangnya, Sayang. Aku harap kamu pun memiliki rasa
yang sama.
***
“Halo...”
“Iya, halo...”
“Kamu masih
mengingatku?”
“Kamu siapa?”
“Aku, yang dulu pernah
memilin kata kita bersamamu.”
“Siapa?”
“Aku...”
“Siapa?”
“Kamu lupa?”
“Aku tak tahu apa-apa.”
“Hey, ada apa
denganmu?”
Tuut...
Tuut... Tuut...
Aku baru menyadari
bahwa rasanya sesakit ini ketika kamu melupakan segala tentang kita. Aku debu,
anggap saja begitu. Sesuatu yang seharusnya tersapu oleh semilir angin yang
menderu. Ingin kuhentikan waktu, kuputar mundur dan di sanalah aku: tempat di
mana aku pertama kali melihat senyummu yang hingga saat ini tak dapat
kuhilangkan potret itu dari tahta tertinggi memori yang kumiliki.
Kamu tak pernah
seutuhnya kumiliki, namun kamu menguasai aku seutuh yang kamu ingin. Ini gila,
mungkin. Namun, bayangmu tetap saja menghipnotisku hingga aku tak berdaya untuk
memalingkan wajah pada bidadari lain di luar sana. Aku hanya menginginkan kamu.
Satu nama yang telah mematenkan diri sebagai pemilik hatiku. Iya, kamu. Bisakah
kita sejenak bersua kembali untuk mencapai kejelasan tentang “kita”?
“Ben! Makan malam dulu,
Nak!”
Ah, Ibu, selalu saja.
“Iya, Bu, sebentar lagi
aku turun.”
Langkah gontaiku
kembali menemani aku, menuju sebuah ruang bisu lainnya yang akan memenjarakan
aku. Aku dengan sebuah bayang semu yang tetap setia mengiringiku.
“Lama sekali kamu?”
tanya pria berkumis tebal yang tetap fokus pada makanan di hadapannya itu.
“Ah, iya, Yah. Aku
masih sibuk dengan urusanku di kamar tadi. Maaf membuat Ayah dan Ibu menunggu.”
“Kamu baik-baik saja, kan, Nak?” tanya Ibu dengan nada cemas.
“Iya, Bu.”
“Kamu tidak lupa dengan
vitaminmu, kan?”
“Tidak, Bu.”
“Kamu sudah berhenti
bicara pada dirimu sendiri, kan?”
Hening. Aku hanya
tersenyum sembari memotong daging ikan di hadapanku.
Tetiba aku menjelma jadi
layang-layang. Ditarik ulur kenangan tentangmu. Tetiba aku jadi layang-layang.
Coba lihat ke langit, aku menunggu untuk kamu tarik. Tetiba aku jadi
layang-layang. Terbang. Melayang. Layang-layang.
“Ben...”
Beriringan namun tak
pernah bersama. Itulah “kita” dalam bentuk yang berbeda. Jauh dari indah namun
aku menikmatinya. Mereka bilang ini kebodohan, aku bilang ini keikhlasan.
Sebening embun di pagi hari yang selalu menyapa, apakah ini benar-benar nyata?
Ah, lupakan. Ketulusan tak melulu butuh balasan, bukan?
“Nita...”
Satu namun berbeda.
Berbeda tetapi tetap satu. Kita.
“Benita...”
Jejak tentang kita
semasa kuliah. Tentang kita yang bertemu tanpa sengaja. Kita adalah sama, yang
dipisahkan oleh batas setipis sutra. Yang bisa muncul tiba-tiba tanpa
disengaja. Ini adalah kisah tentang kita, kita yang sejatinya adalah satu dalam
jiwa dan raga. Tentang cinta abadi di antara kita yang akan terus menghimpit perjalanan
kita.
Kita memiliki
kesempurnaan yang sama dan aku mencintainya. Iya, karena kita adalah sama.
Karena kita adalah satu dalam cinta. Aku mendekatkan kembali handphone-ku pada telinga. Kembali
membuka percakapan dengan seseorang di seberang sana.
“Halo...”
“Ben...”
“Nita...”
“Sampai kapan kita akan
terus bersandiwara? Apa kita memang tak pernah diizinkan untuk meraih kita dalam
bentuk yang nyata?”
“Kita mungkin hanya
terlalu indah untuk bersatu dalam nyata. Kita terlalu sempurna untuk
menciptakan kita yang indah.”
“Lalu, apa kita akan
diam saja?”
“Jelas tidak, Sayang,
kita hanya menunggu waktu yang tepat agar perbedaan kita dapat diterima oleh
nyata.”
“Baiklah, aku akan
tetap setia menunggumu...”
Tuut...
Tuut... Tuut...
Aku kembali menatap handphone-ku yang kini terdiam
sunyi—atau bahkan sedari tadi memang hanya terdiam sendiri? Kembali pada kehidupan
yang tak pernah kurasa adil untuk dijalani. Tanpa cinta yang pernah dapat
kumiliki. Aku masih bisu, ditemani riak imaji yang terus melayangkan ragu. Aku
masih di situ, di tempat yang hanya disemarakkan oleh angin lalu. Padamu,
Cintaku, tunggu aku.
***
Dari balik pintu itu
aku kembali membisu, memasang telinga untuk kembali mendengarkan sayup-sayup
percakapan yang dilakukan anakku. Ya, anakku dengan dirinya sendiri. Ini yang
selalu kukhawatirkan. Dia terlalu mencintai dirinya dalam wujud lain yang dia
akui sempat dilihatnya. Jelas saja anakku tergila-gila, sosok lain itu adalah
dirinya dalam bentuk yang berbeda tetapi memiliki kesempurnaan yang sama.
Setiap hari selalu diciptakannya percakapan yang membuatku teriris miris.
Anakku...
“Sedang apa kamu, Bu?”
Ayah datang dengan air muka yang garang.
“Lagi, Yah, anak kita,”
aku menunjuk ke arah pintu.
Ayah mendekatkan daun
telinganya pada pintu kayu bercat coklat itu kemudian menggelengkan kepala.
“Sudah, Bu, ayo.”
***
Suatu ketika
nanti aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana bisu
yang mendampingi kita yang selalu dipeluk dusta
Suatu ketika aku
ingin melambai pada luka
Setelah kita
berhasil lewati aral melintang yang ada
Kemudian kita
bisa terus bersama-sama
Seperti angin
dan layang-layang di atas sana
(Ben – Nita /
Benita)
TAMAT
19 komentar
Cerpennya keren banget.. Aku suka diksinya yang sangat ringan, tapi bersinergi.. Bagus..
BalasHapusAlhamdulillah, terima kasih :)
HapusKita versi yang ini mengena sekaleee! (y) :D
BalasHapusKena apanya? XD
HapusKitanya *eh klimaksnya ding. :P
Hapuskunjungan perdana nih mbak. hehe :D
BalasHapusSemoga selalu bersedia kembali ke sinu :)
Hapusditunggu "kita' yang lainnya :D!!
BalasHapusPasti! hihihi :*
HapusIni yang waktu itu kan yak? endingnya keren euy :))
BalasHapusEmang yang lo baca waktu itu belum ada endingnya, ya? Hahaha makasih :)
Hapussebuah tulisan sederhana yang membuatnya lengkap dan kembali utuh. :) Schön
BalasHapus"salam kenal"
Salam kenal juga :)
HapusDanke!
Ini -- keren banget! :O *applause*
BalasHapuskunjungan perdana nih mbak,salam kenal :)
Makasih, ya! Salam kenal juga :)
HapusWohohow!
BalasHapusSetiap tulisan pasti ada penikmatnya
Asik ya bahasanya bisa sampe kaya gitu, kayanya jauh banget sama apa yang biasa gue tulis, tulisan yang apa adanya, polos dan kurang hidup, dan ini sebaliknya serta lebih berwarna (Jika boleh di bandingkan)
Dan alur ceritanya juga menarik
Gue tuh kadang suka labil, baca ini pengen kaya ini, baca itu pengen kaya itu wkwkw
Coba baca satu lagi ah
Makasih, makasih!
HapusGue juga masih suka labil kok, Dam huakakaka tapi gue mencoba untuk tetap pada jalur sastra modifikasi :p
kak tiwi sumpah keren. nggak bosen bacanya meskipun agak panjang. malahan kurang banyak. :D
BalasHapusHahaha makasih, ya! Jangan capek main lagi :)
HapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer