Hellooooow! Oke, untuk memenuhi tab Review gue, kali ini gue akan memperluasnya dengan mengomentari sebuah cerita pendek dari seorang teman gue di kampus, Raditya Pratama (@Raditaama). Entah dapet ilham dari mana sampe tetiba dia mention gue dan minta gue untuk membenarkan EYD dalam cerpennya.
Di luar dari EYD, cerita di dalemnya ini romantis abis! Gue suka, suka banget. Cuma sayangnya di sini adalah, banyak diksi yang diulang-ulang. Menurut gue, perbendaharaan kata lo bisa lebih luas kok dari ini. Berikutnya, udah gue tandai mana-mana aja yang (menurut gue) perlu diperbaiki. Ng.... maaf ya kalo ada yang salah atau terlewatkan. Gue juga masih belajar, kita masih sama-sama belajar.
Beberapa yang gue tandai dengan warna merah ini gue temukan ada kesalahan dalam preposisi, penulisan, tanda baca, dsb. Ada juga yang gue coret, karena gue pikir itu gak penting untuk dimasukkan dalam kalimat jika mengacu kembali pada kalimat sebelumnya yang udah tersurat jelas.
Satu lagi, ada bagian percakapan yang masuk ke dalam paragraf. Kalau ada percakapan, entah langsung atau gak langsung, sih, menurut gue enakan kalo dibuat paragraf baru. Kayaknya udah. Oke, ini cerpennya Raditya Pratama tanpa edit. Selamat membaca! :D
***
UNTITLED
by: Raditya Pratama
Memandangnya
saat senja, wajahnya terpapar sinar matari. Warna keemasan membuatnya tampak
seperti dewi. Dewi matari. Ya. Dia sama anggunnya
dengan dewi matari.
Semburat cahaya matari membuat wajahnya berpendar emas dan tampak semakin
hangat. Membuat nyaman untuk selalu berada di dekatnya. Namun, apakah aku bisa
terus bersamanya? Namun apakah bisa ku rengkuh hangatnya?
Dia
menoleh memandangku dan mengangkat alis, aku terkesiap lalu memalingkan
wajahku. Aku masih bisa merasakannya menatapku dan aku merasakan panas di wajahku.
Benar-benar seperti matari senja yang hangat.
“Jangan
salah tingkah,” katanya sambil tertawa. Aku mendengus sambil tersenyum kecut.
“Memandang
orang kan tidak ada salahnya, pandanglah selagi bisa,” katanya lagi sambil
tersenyum. Sejenak aku tertarik kepada jam tangan ku.
Keheningan menyusul kita berdua. Dia tertarik kepada air mancur di taman,
sementara aku masih tertarik kepada jam tangan ku.
“Jadi,
ada alasan khusus kenapa kamu kemari?” tanyanya
masih menatap merpati. Aku menengadah memandang gadis kecil bersama kakak
lelakinya yang jauh lebih tua, sekitar 12 tahun.
Aku masih memikirkan apa alasan aku ke kota ini, bahkan ke negara ini. Gadis
itu menangis di dalam pelukan sang kakak yang sudah berumur sekitar 17tahun, sedangkan gadis kecil itu berumur sekitar 5 tahun.
Kemudian sang kakak membelikan gadis kecil itu Ice cream dan cotton candy. Hal yang terjadi di depan mataku membuatku tersenyum.
---
Waktu itu
senja merambati Kota Roma, memancarkan pendar keemasan. Hangat menyelubungi
tubuhku. Aku berdiri di depan kedai Ice cream Gelato. Menatap kedai Ice cream itu sejenak sebelum aku
akhirnya memutuskan untuk masuk. Aku memilih tempat duduk yang disinari matari
senja. Pelayan menghampiriku, aku memesan banana
split. Aku menatap padatnya jalan raya kota ini. Kemudian pandanganku
terhalang oleh sesosok tubuh berpakaian kaos V-neck
hitam di balut dengan cardigan
putih, dan celana jins. Aku mendengus dan
mendongak menatap sosok tubuh itu. Saat berpapasan dengan matanya, hatiku
tercenung. Wanita itu tersenyum kepadaku, dia menarik kursi dan duduk di depanku.
Tepat dimana sinar matari senja menimpa
wajahnya.
“Nggak
panas?” tanyaku sambil menatap lurus ke jalan raya, bukan ke wajahnya.
“Hangat,”
jawabnya sambil tersenyum. Aku mendengus sambil tersenyum. Kemudian pelayan
menawarkan pesanan dan dia memesan Ice cream coklat.
“Nih, chocolate cake-nya,” kataku sambil menyodorkan
bungkusan. Dia menatapnya sambil tersenyum.
“Kirain
bentuknya hati,” katanya sambil menatapku dengan senyumnya. Senyumnya? Jangan
tanyakan seperti apa. Senyumnya tentu saja seperti matari, hangat dan membuat
hatiku leleh. Aku hanya tersenyum. Kemudian aku memberanikan diri untuk
menatapnya. Sejenak kemudian mata kami saling bertemu. Lima detik kemudian aku
memalingkan pandanganku karena pelayan membawakan pesanan kami. Sejenak tidak
ada percakapan karena kami saling menikmati Ice cream di senja
ini.
“Kamu
beneran naik taksi?” katanya sambil menatapku.
“Iyalah, mau naik apa,” kataku.
“Maaf, kalau nunggu aku nanti kamu kelamaan,” katanya ada nada penyesalan di kalimatnya. Aku memandang wajahnya sambil
mengangkat alis. Dia menatapku dengan tatapan polosnya.
“Apa?” tanyanya.
“Kenapa minta maaf?” tanyaku. Dia
mengangkat bahu. Aku mendengus sambil berdecak.
“Aku nggak masalah kamu nggak bertemu aku, aku nggak ada masalah apapun, yang penting...”
kata-kataku terpotong. Leherku rasanya seperti tercekat.
“Yang penting apa?” tanyanya sambil menatapku.
“Nggak kenapa-kenapa,” jawabku akhirnya. Ganti dia yang mendengus.
Keheningan
menyusul kita berdua lagi. Aku sekarang tertarik kepada Ice cream yang mulai meleleh di
piringku. Begitupun dia. Semenit, dua menit sampai lima menit masih tetap
hening. Keheningan ini membuat canggung.
“Pulangnya
kita bersama-sama, ya,” katanya akhirnya.
“Tapi kamu, kan,
harus pulang tepat,” jawabku sambil mengerutkan alis.
“Tidak apa-apa, kok, nanti kamu main saja ke
apartemenku,” jawabnya. Selama dia berbicara baru sekali ini dia tidak
menatapku. Ganti aku yang menatapnya. Jadi ini ya rasanya saat bicara tapi
wajah kita tidak ditatap. Jadi, untuk kalian, saat ada yang mengajakmu bicara,
tataplah wajahnya, matanya terutama.
Kemudian
mendongak, menatap lurus, entah kepadaku atau kepada sesuatu dibelakangku.
Wajahnya tertimpa sinar matari senja. Berpendar keemasan dan hangat. Aku
menatapnya, tepat di matanya, kemudian dia juga menatapku tepat di mataku. Aku
tersenyum, dan dia juga balas tersenyum. Aku menghela nafas
dan dia mengangkat alis. Ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan, tapi cukup
untuk dirasakan. Mungkin bagiku saja, tidak baginya.
Kemudian aku
memutuskan untuk ke kasir dan membayar Ice cream kami. Aku baru menyadari bahwa hari ini
hari Sabtu. Oh Saturday night. Pantas
banyak pasangan. Aku sejenak tersenyum menatap mereka. Aku terlalu asyik
menatap jalan raya dan aku tidak akan segera tersadar jika aku tidak tersentak
kaget saat dia menggandeng tanganku untuk mengajakku bangkit. Aku mendongak
menatapnya, dia menatapku sambil tersenyum. Dia benar-benar seperti matari. Aku
bisa merasakan panas menjalar ke seluruh tubuhku. Aku kemudian bangkit dan
tersenyum. Dia masih menggandeng tanganku sampai kami ke halte bus.
Aku
tersentak saat sesosok tubuh berdiri di hadapanku, menghalangi pandanganku dari
gadis dan kakak laki-lakinya. Sesosok tubuh itu menyodorkanku Ice cream
cone bertumpuk 3. Aku menatap sosok tubuh itu.
Dia tersenyum menatapku sambil menjilat Ice cream-nya
sendiri. Aku tersenyum simpul sambil menerima Ice cream pemberiannya. Aku begitu
asyiknya melamun sehingga tidak sadar bahwa dia menghilang dari sampingku. Dia
kembali duduk disampingku.
“Thanks,” kataku sambil menatap wajahnya yang sekali
lagi tertimpa sinar matari senja. Dia tersenyum, tapi tidak membalas tatapanku.
Aku memalingkan wajah dan tersenyum.
Aku selalu
menyukai wajahnya saat pendar matari menimpa wajahnya. Matari membuat wajahnya
berpendar keemasan dan selalu membuatku merasa hangat. Seolah-olah dia anak
dewa matahari, Apollo.
“Jangan pergi
lagi,” kataku tanpa menatapnya, tapi aku
tersenyum.
---
Tepat
sehari setelah peristiwa Ice cream Gelato itu
semuanya berlalu dengan cepat. Hari-hariku tersita untuk kuliahku. Segalanya
berlalu dengan cepat. Aku kini sudah berubah total dalam segala hal. Termasuk
penampilan. Tahukah kenapa? Aku merubah semua
aspek penampilanku demi dia. Dia yang, yah, sejauh ini aku tidak pernah menyebutkan namanya.
Semakin
aku menunggunya, semakin jauh aku rasakan. Dia semakin
menghilang, dan aku semakin tenggelam dalam mimpi-mimpiku. Aku terjatuh dan
terlunta. Aku tidak kehilanganmu, tapi kau semakin menjauh dariku. Tidak
bisakah kau kembali kesisiku?
Sehari
setelah semuanya berlalu setelah dia menggandeng
tanganku, semuanya terasa terhisap oleh waktu. Entah siapa yang kehilangan
siapa. Aku tidak melupakannya, bahkan berpikir untuk melupakannya pun tidak.
Aku bisa jadi tidak waras atas semua yang aku lakukan.
Getar handphone-ku membuyarkan lamunan, aku lihat sebuah
pesan singkat dari nomor yang tak aku kenal. “Nanti malam kamu ada acara?
tolong antarkan aku ke pesta pernikahan kakak kelasku yah.” Tak ada nama yang
mengkuti pesan singkat itu, namun pikiranku langsung tertuju kepadanya, yah dia
yang membuatku selalu hangat di dekatnya. Lalu dengan gesit tanganku
memijit-mijit tombol handphone-ku, “Iya, aku
bisa. Kebetulan mobil pamanku ditinggalkan olehnya, nanti aku jemput kamu jam 18:00 tepat.”, setelah
itu suasana kembali hening. Aku menatap layar hanphone-ku
sambil berharap ada balasan dari nomor yang tak di
kenal itu namun tak ada getaran sama sekali, sempat hatiku berkata “Apa
bukan dia? atau sudah ada orang lain untuk menjemputnya?”
“Cepat bangun, sudah hampir petang. Lekas mandi, air panas sudah siap.” suara itu membangunkanku, ternyata aku tertidur setelah lama berharap menunggu balasan pesan singkatnya. Aku lihat sebuah pesan singkat di hanphone-ku “Kamu akan menjemputku, kan? Aku tunggu, yah, jangan sampai telat!” . Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17:30 , aku segera berlari untuk mempersiapkan diri.
“Tingtong,Tingtong,” aku memijit bel didepan pintu apartemennya. Setelah itu muncul sesosok gadis yang begitu anggun, mengenakan dress putih dengan payet-payet yang menghiasi dress tersebut, layaknya langit yang ditaburi bintang-bintang. Rambutnya tergerai lurus dengan satu ikatan rambut di sisi kiri, seakan melambai-lambai kepadaku untuk membelainya. Aku seakan terbius, diam membisu, bagiku ini seakan di surga. “Ayo.” suara tersebut membuyarkan lamunanku. Aku masih saja diam membisu, tak sepatah kata apapun terlontar dari tipis bibirku. Aku terkaget ketika tangan lembut itu menggelayut manja di lenganku. Aku menoleh kepada gadis itu, dia tersenyum. Tidak, senyuman itu maut, aku seakan di hunus seribu pedang. “Kenapa? ada yang salah dengan penampilanku?” katanya. “Tidak, kau begitu cantik malam ini.” Jawabku sambil tak menatap senyumannya itu.
“Cepat bangun, sudah hampir petang. Lekas mandi, air panas sudah siap.” suara itu membangunkanku, ternyata aku tertidur setelah lama berharap menunggu balasan pesan singkatnya. Aku lihat sebuah pesan singkat di hanphone-ku “Kamu akan menjemputku, kan? Aku tunggu, yah, jangan sampai telat!” . Aku menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 17:30 , aku segera berlari untuk mempersiapkan diri.
“Tingtong,Tingtong,” aku memijit bel didepan pintu apartemennya. Setelah itu muncul sesosok gadis yang begitu anggun, mengenakan dress putih dengan payet-payet yang menghiasi dress tersebut, layaknya langit yang ditaburi bintang-bintang. Rambutnya tergerai lurus dengan satu ikatan rambut di sisi kiri, seakan melambai-lambai kepadaku untuk membelainya. Aku seakan terbius, diam membisu, bagiku ini seakan di surga. “Ayo.” suara tersebut membuyarkan lamunanku. Aku masih saja diam membisu, tak sepatah kata apapun terlontar dari tipis bibirku. Aku terkaget ketika tangan lembut itu menggelayut manja di lenganku. Aku menoleh kepada gadis itu, dia tersenyum. Tidak, senyuman itu maut, aku seakan di hunus seribu pedang. “Kenapa? ada yang salah dengan penampilanku?” katanya. “Tidak, kau begitu cantik malam ini.” Jawabku sambil tak menatap senyumannya itu.
Tiba di
gedung yang begitu mewah, aku dan gadis itu turun dari mobil pamanku, tak lupa
juga dia menggelayutkan lengannya di lenganku. Semua mata tertuju pada aku dan
dia, suasana menjadi hening ketika kami berjalan menelusuri pintu masuk.
“Lihatlah, pasangan yang serasi itu. Layaknya Romeo dan Julliet.” Aku mendengar
bisikkan para tamu yang lain tentang kita. “Romeo dan Julliet? Bagiku dia
memang Julliet, namun aku? Aku bahkan hanya seperti bodyanguard-nya
saja.” gerutuku. Para tamu yang lain masih saja
memperhatikan gerak-gerik aku dan dia, seakan tiap langkah kami menjadi
pertunjukkan yang sangat indah bagi mereka. Aku dan dia mencoba membaur ke para
tamu yang lain.
“Wah, kalian serasi sekali, pantas saja setiap gerak kalian menjadi pertunjukkan indah untuk para tamu yang lain.” Terdengar suara yang aku kenali saat itu, sesosok gadis di balut dengan long dress hitam pekat berdiri dihadapan kami. “Nirina, kau datang juga? Bersama siapa kau datang?” suara merdu dari gadis yang masih menggelayutkan lengannya di lenganku. Kemudian muncul sesosok pria yang menurutku lebih dari diriku, pakaiannya begitu rapi, gagah, dan tatapan matanya seperti elang. “Randy,” sambil mengulurkan tangannya pada gadis yang menggelayutkan lengannya ke lenganku. Saat itu aku hanya terdiam, merasakan rasa yang aneh yang menghantam hatiku. “Tidak, mereka hanya berkenalan, bukan? Lagian aku bukanlah siapa-siapa darinya.” Hatiku mencoba menenangkan ombak cemburunya.
“Wah, kalian serasi sekali, pantas saja setiap gerak kalian menjadi pertunjukkan indah untuk para tamu yang lain.” Terdengar suara yang aku kenali saat itu, sesosok gadis di balut dengan long dress hitam pekat berdiri dihadapan kami. “Nirina, kau datang juga? Bersama siapa kau datang?” suara merdu dari gadis yang masih menggelayutkan lengannya di lenganku. Kemudian muncul sesosok pria yang menurutku lebih dari diriku, pakaiannya begitu rapi, gagah, dan tatapan matanya seperti elang. “Randy,” sambil mengulurkan tangannya pada gadis yang menggelayutkan lengannya ke lenganku. Saat itu aku hanya terdiam, merasakan rasa yang aneh yang menghantam hatiku. “Tidak, mereka hanya berkenalan, bukan? Lagian aku bukanlah siapa-siapa darinya.” Hatiku mencoba menenangkan ombak cemburunya.
Aku
keluar dari kerumunan itu, untuk mencari udara yang segar di malam ini.
“Seharusnya aku bahagia, aku datang bersamanya. Bagai Romeo dan Julliet masa
kini, namun ketika sampai aku melihat Robin Hood yang siap mencuri hati Julliet.
Ah, sial!” hatiku meneruskan gerutunya saat di
kerumunan. Ku tengguk minuman yang aku bawa dari
dalam pesta tersebut. “Hei, kau sedang apa disini?
Tak menemani kekasihmu itu, jangan sampai hatinya tercuri oleh pria yang lain.”
Suara itu membuyarkan lamunanku, aku menatap lelaki itu. Ia tertawa, seakan
mencoba mengakrabkan suasana. Namun aku hanya tersenyum dan mencoba menjauhinya
dengan langkah kakiku yang tertuju ke dalam kerumunan pesta.
“Kamu kemana aja? Aku cari di tiap pelosok kau tak ada.”
Suara manja kesal berbisik di telingaku. Aku hanya tersenyum, hatiku tak karuan
ketika mengetahui ia mencariku. Lengannya pun kini menggelayut kembali di
lenganku. “Mari pulang,” kata gadis itu sambil
tersenyum padaku. Jam memang sudah menunjukkan pukul 21:00
saat itu, suasana gedung tersebut masih ramai, namun semilir angin malam
mulai mendinginkan suasana. Tubuhnya gemetar, seperti menggigil di rabai oleh dinginnya malam, aku pun melepaskan
lengan yang menggelayut di lenganku untuk sekedar melepas jas yang aku pakai.
“Ini pakai, udaranya sangat dingin malam ini,”
ia tersenyum, senyumannya seperti hangat matari yang merabai tubuhku di malam
dingin ini.
Sesampainya di pelataran apartemen, Ia mengatakan, “Sudah sampai sini saja, terimakasih sudah menemaniku malam ini. Lain kali temani aku lagi dan kita berjalan berdua bersama lagi” . Sebuah kecupan mendarat di pipiku kananku, lembut tipis bibir dan guratan bibir itu seakan terasa ke seluruh tubuhku. Aku terdiam membisu, hati tak karuan, tak menyangka pipiku sebagai landasan kecupannya. Ia berlalu dengan senyumannya, sambil dengan tatapan manjanya yang membuatku terpana. Di perjalanan aku melamun, rasanya masih tak percaya dihadiahi sebuah kecupan.
Sesampainya di pelataran apartemen, Ia mengatakan, “Sudah sampai sini saja, terimakasih sudah menemaniku malam ini. Lain kali temani aku lagi dan kita berjalan berdua bersama lagi” . Sebuah kecupan mendarat di pipiku kananku, lembut tipis bibir dan guratan bibir itu seakan terasa ke seluruh tubuhku. Aku terdiam membisu, hati tak karuan, tak menyangka pipiku sebagai landasan kecupannya. Ia berlalu dengan senyumannya, sambil dengan tatapan manjanya yang membuatku terpana. Di perjalanan aku melamun, rasanya masih tak percaya dihadiahi sebuah kecupan.
Jarum jam
masih terus berdetik, aku lihat jam sudah menujukkan pukul 00:00 tepat, namun masih saja mataku terjaga. Sebuah
kecupan hangat yang aku terima memaksaku untuk tetap terjaga di malam sunyi
ini. Tiba-tiba handphone-ku bergetar, “Hai, terimakasih atas malam ini. Maaf kalau aku
merepotkan. Dan aku hanya ingin mengucapkan, kau “TAMPAN” seperti dewa langit,
matamu elang yang siap memangsa para wanita lain. Selamat Malam!.” . Aku tersenyum melihat pesan singkat itu. Aku tak
percaya kalau kata-kata yang terangkai ini dibuat olehnya, sesekali ku cubit pipiku untuk memastikan ini bukan mimpi.
---
Seminggu
setelah kejadian pesta itu, aku dan gadis yang selalu aku puja semakin dekat.
Bahkan tak sungkan-sungkan kami terjaga saat bulan bersemangat menyinari bumi. Lewat
alat canggih masa kini aku dapat bertatap muka dengan mudahnya, membunuh rindu
dengan senyuman, memudarkan sunyi dengan riuh canda tawa. Kini timbul cinta kepermukaan, senyum dan canda tawa sederhana menjelma
menjadi cinta yang durjana. Rindu menjelma candu, hati kian gundah kala simpul
senyum telah melonggar.
Musim-musim
berlalu begitu saja, aku terlalu sibuk dengan kegiatan kuliah yang ekstra padat
tanpa memberikanku istirah. Bagai hidup dunia baru, aku memalingkan arah
pandanganku kepada setumpuk tugas yang saban hari melambai-lambai dan memanggil
namaku. Tak sempat aku menggunakan handphone-ku
untuk menyampaikan sedikit rindu, bagai perahu yang karam di samudera pasifik
tak ada riuh canda tawa yang kini membunuh sunyi.
Kini entah siapa yang kehilangan siapa. Aku tidak
melupakannya, bahkan berpikir untuk melupakannya pun tidak. Bagaimana
dengannya? Apa dia melupakanku? Apa dia akan meninggalkan cinta ini? Sejuta
tanya hadir saat malam mulai membentangkan jubahnya, sunyi mulai menjalar ke
sudut-sudut hati, dan gundah mulai menengadah padaku.
Aku terhenti di depan sebuah kedai, dimana terdengar riuh
canda tawa anak-anak dan obrolan mesra para remaja, serta para dewasa yang
menikmati senja kota Roma. Ya, kedai Ice Cream Gelato. Sesaat waktu menghisap
ingatanku, waktu pertama kali aku bertemu dengannya. Ya, Dia yang sejauh ini aku tidak pernah menyebutkan
namanya. Dia yang selalu melelehkan hatiku layaknya Ice cream coklat, menghangatkan
tubuhku dengan senyumannya, menebas sunyiku dengan canda dan tawanya, dan
lenganku masih merindukan gelayut manja lengannya. Apalagi pipiku masih terus
memanggil-manggil kecupan bibirnya, guratan-guratan yang terukir di lembut
tipis bibirnya masih terlukis jelas dalam pikiranku. Aku masih menyimpan
kenangan manis tersebut, menyimpannya dalam hati dengan mengikatnya dengan
simpul mati.
Ku rasa Banana split ini
masih seperti dahulu, lembut dan manis saling memeluk dan membuncahkan rindu di
dalam mulutku. Namun bagiku ada yang hilang, ketika pendar jingga menimpa
bangku kosong di hadapanku. Sesaat aku termangu, kemana
perginya dia? Dia yang tak pernah kusebutkan namanya sampai saat ini, dia yang
masih terlukis jelas di hati, dan menjelma sebagai orang yang tak pantas
dilupakan.
Lamunanku
membuyar di bawa angin, senja ini begitu kelabu.
Sesaat awan abu-abu bergumpal di langit kota Roma bersiap untuk membasuh luka
lama yang berbalut renjana. Rintik hujan mulai berdenting, suasana kota Roma yang padat berubah menjadi hening. Aku
tertegun oleh lagu yang terputar di gramofon milik kedai Ice cream Gelato.
“Pada akhirnya aku selalu
melihat ke suatu tempat, mencari senyumanmu di persimpangan jalan, saat aku duduk sendiri di kedai
Ice cream, meskipun aku tahu kau tak mungkin ada di sana. Andai hidup bisa diulang kembali, aku ingin berada di
sisimu selalu. Aku tak menginginkan apapun.
Tak ada yang lebih penting darimu.”
Begitulah lirik lagu
yang berbisik kepadaku. Aku menarik nafas dalam-dalam mencoba menenangkan rindu yang
memaki hati. Kejadian sebelas tahun yang lalu itu takkan kembali, cinta yang
belum sempat terlontar dari bibirku kini menjadi usang dan terkubur menjelma
renjana hati. Air mataku terjatuh pada bangku yang kosong dihadapanku yang tertimpa
pendar jingga kota Roma.
Aku berlari ke dalam
riuh hujan, berlari menghampiri sebuah nisan yang bertuliskan nama CLARISSA AZKIA. Dia yang tak pernah kusebutkan namanya selama ini ialah gadis yang
pernah menjadi dewi matari, bagiku kini ia menjelma menjadi imaji. Selama ini aku
selalu mencari, selalu mencari sosoknya. Di persimpangan jalan, di dalam mimpi. Meskipun
aku tahu dia tak akan ada di sana. Biarlah kenangan ini larut dalam Ice cream Banana Split milik Gelato.
10 komentar
Untuk kata2 "diantara", "disitu", "disana" harus di pisah ya? Hmm... Baru tau.. :/
BalasHapusTrus perumpamaan "Matari" itu maksudnya Matahari atau Mentari kan?
Alhamdulillah kalau sudah tau hehehe
HapusIya, betul. Tuh, penulisnya ada di bawah :p
Maaf bundo, ambo salah banyak yah? Saya tidak berbakat untuk jadi "Penulis", mungkin. :v
BalasHapusBakat banget kok, Dit, cuma butuh koreksi dikit aja hehehe
Hapuskonsistensi
BalasHapusice cream, chocolate cake, handphone, long dress, bodyguard, banana split
trus, ada pakai 'pukul' dan ada pakai 'jam'.. penggunaan yang benar: acara latihan dimulai pukul 18.00, selama 2 jam.
Nah! Mas Arga sudah bukan sarjana sastra yang murtad lagi! Hahaha
HapusI am not good at editing. I'm just good at appreciating and enjoying the literary works :)
HapusPenikmat sastra yang baik kalau begitu :)
HapusWih keren nih, Tiw. Bisa lancar jadi editor nih! Dan gue baru tahu kalau kemari itu dipisah. Emang mesti dipisah atau kalau kata tunggal aja ya, soalnya setau gue 'ke sana kemari', kemarinya digabung. CMIIW. :D
BalasHapusitu gue merahin karena gak enak dibaca dalam kalimat itu, Di. hehe
HapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer