Menjadi bagian
dari mereka—Keluarga Kita—adalah hal yang sebelumnya bahkan belum dapat aku
mimpikan. Menemukan keluarga baru yang begitu hangat dan luar biasa. Di sini,
aku banyak belajar tentang berbagai macam hal. Dan pelajaran yang paling sempurna
yang aku dapatkan adalah, “bahagia itu sederhana”. Merasakan tersenyum tanpa
beban, tertawa lepas tanpa halangan adalah keindahan yang tak terbayarkan.
Oktober 2012
Sabtu pagi
yang menjemukan, aku masih bermalas-malasan ditemani handphone pada genggaman tangan. Akun facebook terpampang pada layar dan kulihat ada sesuatu yang menarik
di sana. Seorang teman lama—Prameswari Puspa Dewi—baru saja membagikan link mengenai sebuah sekolah alternatif di
bilangan Bogor, Jawa Barat. Melihat kata “sekolah”, jari-jariku tanpa
diperintah seolah tau maksud hati tuannya. Kubaca dan kulontarkan beberapa
pertanyaan pada temanku itu. Dia mengajakku untuk turut bergabung bersama
sekolah alternatif yang kemudian kutau disebut dengan “Sekolah Kita”.
“Pengen, sih,
tapi gue ga bakat ngajar.”
“Ada buat
jurnalisnya juga, kok.”
Itulah sepenggal
percakapan kami pagi itu. Entah malaikat baik dari mana yang datang merasukiku,
sore di hari yang sama aku langsung mendaftar sebagai jurnalis relawan di
Sekolah Kita.
Masih di
bulan yang sama, proses seleksi berlangsung. Senang bukan main saat mendapat
e-mail pemberitahuan bahwa aku lolos tahap kedua (wawancara). Dan yang lebih
senang lagi—kalau tidak salah ingat itu hari Jumat—adalah ketika pengumuman
penerimaan Kakak Kita Angkatan I telah di-publish
di blog Sekolah Kita. Sejujurnya aku sudah benar-benar hopeless saat melihat hingga nomor belasan sementara namaku belum
juga muncul, tapi ternyata alam masih mengizinkan aku tersenyum karena tepat
pada nomor terakhir di situlah namaku bertengger.
November 2012
Kunjungan pertamaku
ke Sekolah Kita. Hari itu, semesta benar-benar menguji kami—aku dan Puspa—yang memang
baru bergabung. Hujan deras menyapa kami, mungkin untuk mengetahui sejauh mana
kebulatan tekad kami untuk menjadi bagian dari mereka. Pertama kali dalam
hidupku, aku melihat senyum dan semangat yang begitu mengagumkan.
Desember 2012
Pertemuan dengan
Kak Ana, Kak Rara, Kak Jona dan Kak Ben. Entah harus berkata apa lagi selain, “WOW!”
Januari 3013
Kelas nonton
bareng yang pertama diadakan hari itu mengumpulkan hampir seluruh Kakak Kita:
mulai dari Tim Tetap, Kakak Kita Angkatan I dan Kakak Kita Angkatan II. Ada adik
kecil yang lucu sekali, namanya Aca. Dia sibuk ngemil saat kelas nonton
berlangsung dan ternyata cemilannya itu mengundang Kak Puri yang sedang
terkantuk-kantuk untuk bilang, “bagi dong!”
Dengan
sukacita, si adik yang berusia sekitar 4 tahun ini membagi cemilannya untuk Kak
Puri. Kami banyak berbincang hari itu. Aca bertanya banyak hal tentang
pribadiku, sampai bertanya rumahku di mana. Cara bertanyanya itu mengundang
tawa: tersenyum malu-malu sembari menggigiti ujung kerudung yang dikenakannya. Aku
beberapa kali memotretnya dengan kamera handphone-ku
yang kemudian kutunjukkan hasilnya padanya. Agaknya dia cukup tertarik untuk
mencoba memotret, semakin tinggi rasa ingin tahunya akan hal baru.
Februari 2013
Pertemuan pertamaku
dengan Kak Gigi yang jauh-jauh datang dari Jogja hanya untuk memenuhi tugas
mengajarnya di Sekolah Kita. Kak Gigi punya kelas khusus—kelas keterampilan—dan
hari itu Kak Gigi membawa harta karun berupa seperangkat alat dan bahan paper quilling. Jujur saja, aku yang
sedari taman kanak-kanak sudah menyukai hal seperti itu seketika duduk manis
dan diam sementara tangan-tanganku berkenalan dengan paper quilling. Kelas Kak Gigi hari itu berakhir dengan begitu
spektakuler karena ide brilian dari adik kita yang mengubah karya sederhananya
menjadi sebuah hiasan pensil. Aku takjub, aku kalah saing. Haha! Sejak hari
itu, aku selalu mendampingi kelas Kak Gigi dan membantu mencari materi ajar
untuk kelasnya.
Maret 2013
Peralihanku dari
relawan menjadi anggota tetap. Ini bukan main senangnya! Hmm... Mulai hari itu
aku dapat panggilan baru dari Kak Monic, “Bu Sekre...”
Bukan hanya
itu, adik-adik juga sudah mulai hapal namaku. Ada yang lucu dari adik kita yang
bernama Risma (seingatku Risma duduk di bangku kelas 3 SD) sesaat seusai kelas
hari itu.
“Kakak, minta
nomor HP-nya.”
“Buat apa?”
“Gapapa mau
minta aja.”
Aku
mengeluarkan pensilku, “mana bukunya?”
Risma
menyodorkan bukunya padaku.
Iseng,
kutanya, “mau tanda tangan sekalian ga? Hahaha!”
Dan dengan
polosnya dia menjawab, “boleh.”
Karena niatku
hanya bergurau, maka kukembalikan buku itu yang hanya bertuliskan nomor handphone-ku. Tetiba dia menyodorkan
kembali bukunya padaku, “tanda tangannya mana, Kak?”
“Loh? Emang mau
beneran?”
Hanya anggukan
yang kudapatkan. Baiklah, merasakan sehari menjadi artis tak apa lah ya. *kibas
rambut*
Hingga kini
aku jadi sering berkirim pesan dengan Risma.
Lain Risma lain lagi Nuryani, sejak beberapa bulan terakhir dia sering menyapaku dan lucunya dia selalu minta difoto. "Tapi ga mau sendiri, Kak."
Akhirnya dia menarik-narik Risma agar mau difoto bersama dengannya hahaha!
April 2013
Selamat Ulang
Tahun Sekolah Kita! Walaupun baru beberapa bulan bergabung, namun aku pribadi
sudah merasakan benar perbedaan yang ada pada adik-adik kita.
Sedikit lelah
menyiapkan beberapa hal untuk perayaan ulang tahun Sekolah Kita, seusai acara
ada gadis kecil yang menghampiriku. Paulina.
“Kakak, sini
dipijitin.” Tanpa kuiyakan dia telah memijat bahu kananku.
“Ga usah,
gapapa kok.”
“Gapapa,
Kakak. Ini rambutnya, Kak.” Paulina tetap memijat bahu kananku sembari menyibak
rambutku ke belakang.
Kamu baik
sekali, Paulina! Terima kasih :”)
Seminggu berselang...
Pertama kalinya
aku berdiri di depan kelas sendirian, biasanya aku hanya mendampingi Kakak
Pengajar yang bertugas hari itu. Ternyata seru juga. Saat aku baru masuk kelas,
aku mendengar beberapa adik kita berbicara, “sama Kak Tiwi, sama Kak Tiwi.”
Sempat kebingungan
juga tadinya, setelah bermain game akhirnya aku bertanya, “sekarang
mau belajar apa?”
“GAMBAR, KAK!”
serentak seluruh adik di kelasku yang duduk di kelas 1-3 SD itu pun menjawab
dengan lantang.
Baiklah,
kuturuti saja mau mereka. Kubagikan kertas pada masing-masing dari mereka dan
kuminta menggambar keadaan di laut. Di tengah aktivitas mereka, ada satu orang
adik kita yang—aku lupa nama aslinya—dipanggil dengan sebutan Gendon. Dia sangat-sangat
aktif bertanya padaku..... dalam Bahasa Sunda. Aku sempat menertawai diriku
sendiri karena tak mengerti, tapi untunglah ada Yudi yang bertindak sebagai
translator untukku. Di penghujung kelas, karena Gendon terus berceloteh dengan
Bahasa Sunda yang aku tak mengerti, aku berkata, “kalian ajarin kakak Bahasa
Sunda aja, deh. Gantian, kakak yang les sama kalian.”
Sedikit demi sedikit
mereka mengajariku kata-kata sederhana dalam Bahasa Sunda, namun karena kelas
hari itu sudah harus selesai maka pelajaran Bahasa Sunda-ku pun berakhir. Minggu
depan kita sambung lagi! Hahaha!
Dan yang aku harapkan kini.....
Semoga seluruh
bagian dari Sekolah Kita bisa mencapai kesuksesan, Keluarga Kita menjadi
keluarga yang semakin sempurna dan hangat, tetap kompak semuanya!
Pars Prototo – Totem Proparte
0 komentar
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer