“Sebab setiap tempat adalah sekolah kita.”
Tak banyak
orang beruntung yang dapat mengetahui keberadaan sebuah tempat yang begitu
indah. Salah satu tempat yang indah itu terletak di Desa Sukamulya, Kelurahan
Cibitung, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor. Rumpin? Ya, tak banyak yang
mengetahuinya. Mungkin hanya mereka yang selalu up to date tentang berita pesengketaan di tanah air yang tak asing
mendengarnya. Mengapa sengketa? Karena di sana rumah warga kampung berbatasan
langsung dengan tanah tentara Angkatan Udara. Sejak lama warga dan tentara
berbeda pendapat soal siapa pemilik tanah.
Hidup di tengah konflik bukanlah
hal yang mudah, terutama bagi anak-anak. Maka dari itu, berdirilah “Sekolah
Kita”, sekolah non-formal yang difungsikan sebagai tempat belajar dan bermain
untuk adik-adik kita. Bangga dan bahagia rasanya saat dapat bergabung bersama
“Sekolah Kita” ketika mayoritas dari pemuda saat ini lebih memilih untuk
berleha-leha di akhir minggunya. Walaupun perjalanan menuju Rumpin tidaklah
mudah untuk ditempuh, namun kerinduan saya akan sebuah keindahan berbagi terus
memacu semangat saya untuk bertemu dengan adik-adik kita.
Kami,
kakak-kakak kita yang bertugas hari itu (Minggu, 25 November 2012) berkumpul di
stasiun untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ada saya sendiri, Kak Rara, Kak
Tiara, Kak Nuryadi dan Puspa yang telah siap menghasbiskan waktu besama
adik-adik kita hari itu. Sesampainya di Serpong, awan mendung sudah mulai
terlihat menguasai langit. Kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki sebuah
angkot. Baru saya temui di sana, angkot tanpa nomor. Mungkin warga membedakan
tujuan angkot tersebut dengan cara melihat warna dari angkutan itu. Cukup lama
kami duduk di dalam angkot yang penuh sesak. Jalan yang dilalui sangat padat,
mungkin karena sedang ada perbaikan jalan. Beberapa rekan saya tertidur di
dalam angkot itu, mungkin mereka lelah. Saya pun demikian, namun mata ini
enggan untuk terpejam.
Kami turun di
sebuah daerah yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Perjalanan yang panjang
namun begitu indah. Sempat saya perhatikan beberapa pasang mata memperhatikan
kami, entah karena apa. Langit mulai menitikan air matanya, perlahan tapi pasti
butiran demi butiran air hujan membasahi tubuh kami, membuat jalan yang belum
beraspal itu semakin becek. Seketika saya rindu masa kecil saya, di Jakarta
yang dulu belum seluruhnya beraspal. Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal
yang menjijikkan, namun tidak untuk saya. Jalan yang becek dipadu pemandangan
hijau yang membentang benar-benar membuat saya nyaman. Lepas dari segala beban.
Hujan semakin deras namun kami masih harus menempuhnya karena adik-adik kita
pasti telah menanti. Beberapa kali kami hampir tergelincir membuat saya geli
dan tertawa bersama kakak-kakak kita lainnya.
Setibanya di
sebuah musholla kecil di sana, kami menghentikan perjalanan. Ya, di dalam
musholla sederhana inilah adik-adik kita biasa berkumpul untuk belajar dan
bermain bersama. Anak-anak dengan kisaran umur 3-12 tahun bermunculan dari
dalam musholla, menyambut kami yang basah kuyup dengan senyuman khas anak-anak
tanpa dosa. Suatu hal yang sangat baru untuk saya. Ada sekitar 23 anak di sana
yang siap belajar dan bermain bersama kami. Ini belum keseluruhan dari jumlah
adik-adik kita karena sebagian dari mereka sedang mengikuti lomba untuk
memperingati Hari Anak Universal di Jakarta.
Setelah
beristirahat beberapa menit melepas sejumlah lelah yang terhimpun selama
perjalanan, kelas pun dimulai. Namun tiba-tiba listrik mati dan ruangan menjadi
sedikit gelap. Setidaknya saya masih dapat melihat wajah-wajah lucu yang sangat
bersemangat di hadapan saya. Tak kenal maka tak sayang, perkenalan dimulai dari
kakak-kakak pengajar dan dilanjutkan oleh adik-adik kita. Lucu rasanya melihat
banyak ekspresi malu-malu saat menyebutkan nama, usia dan hobinya. Banyak dari
adik-adik kita yang menyatakan hobinya adalah bermain. Maka dari itu, Kak Rara
mengajak adik-adik kita untuk bermain permainan “kwek-kwek”. Hampir tak ada
yang terkena hukuman, adik-adik kita memang hebat! “Udah biasa ngangon bebek!”
ucap seorang ibu yang menemani anaknya. Kontan saja gelak tawa membuncah pecah
di dalam musholla yang sementara dialih fungsikan untuk kegiatan rutin tiap
Minggu ini.
Karena
sebagian dari adik-adik kita sedang berlomba di Jakarta, maka kelas hari itu
disulap menjadi sebuah perlombaan agar mereka semua merasakan hal yang sama.
Hal ini juga dapat melatih kepercayaan diri adik-adik kita untuk tampil di muka
publik dan bisa mewakili “Sekolah Kita” di perlombaan lainnya nanti. Perlombaan
dimulai dengan membagi adik-adik kita ke dalam kelompok perlombaan yang mereka
minati: ada menggambar, menyanyi, membaca puisi dan menceritakan pengalaman
pribadi yang paling menyenangkan. Kak Rara dan Kak Tiara membagikan kertas
untuk adik-adik kita yang memilih untuk menggambar, membaca puisi dan bercerita
sedangkan Kak Nuryadi membimbing adik-adik kita yang memilih bernyanyi untuk
berlatih di teras mushola. Adik-adik kita diberikan jeda waktu selama tiga
puluh menit untuk mempersiapkan karya terbaiknya.
Keadaan
musholla beratap anyaman bambu yang bocor karena hujan dan gelap karena mati
listrik itu sama sekali tidak menyurutkan kobaran semangat mereka. Pemandangan
yang sungguh mengagumkan. Di saat anak-anak kota mengeluh karena AC di kelasnya
kurang dingin atau lampu yang tiba-tiba mati lalu mengeluarkan sumpah serapah
yang patutnya tidak diucapkan oleh orang-orang berpendidikan, di “Sekolah Kita”
saya dapat melihat ketulusan dan semangat anak-anak yang membuat mata saya
terbuka. Perilaku anak-anak itu adalah tamparan keras untuk kita. Syukurilah
apa yang kita miliki dan manfaatkan itu semua dengan semaksimal mungkin. Maka
kita akan menjadi lebih dari apa yang mereka bayangkan.
Ada beberapa
kejadian lucu yang saya temukan di sana. Pertama, adik kita yang bernama Topik
tiba-tiba berlari masuk dari arah teras membawa secarik kertas yang sebelumnya
dibagikan oleh kakak pengajar dan mengembalikan ke Kak Rara lalu kembali
berlari ke arah teras. Ekspresinya tak dapat saya gambarkan dengan kata-kata,
yang pasti lucu! Kakak-kakak cukup bingung hingga belakangan diketahui bahwa
dia tidak mau menggambar melainkan bernyanyi. Kedua, ketika adik-adik sedang
mempersiapkan mahakaryanya, tiba-tiba saja ada ayam yang masuk kelas. Kontan
saja adik-adik kita berlarian berusaha menangkap ayam tersebut. Menyenangkan
sekali melihat canda tawa mereka yang menggemaskan.
Tiga puluh
menit berlalu dan saatnya adik-adik kita menampilkan karyanya di depan kelas.
Dimulai dari adik-adik kita yang bernyanyi, ada enam orang yang dipasang-pasangkan
hingga menjadi tiga pasang. Tiap pasangan wajib memnyanyikan satu lagu wajib
nasional dan satu lagu bebas. Dilanjutkan dengan adik-adik kita yang membacakan
puisi. Dari tiga orang yang membacakan puisinya, ada satu anak yang menarik
perhatian saya. Terlihat jiwa sastra sangat hidup di dirinya, namanya Asri.
Saya mengagumi ekspresi adik kita yang satu itu, begitu menghayati. Terakhir,
lomba membacakancerita pengalaman pribadi. Dua orang yang mengikuti lomba ini
hampir sama dari segi kata-kata, intonasi dan ekspresi. Masih begitu
“anak-anak”. Adik-adik yang lomba menggambar hanya mengumpulkan karyanya kepada
kakak pengajar. Indah bukan buatan melihat satu demi satu adik-adik kita
menampilkan yang terbaik darinya. Kami—saya, Kak Rara, Kak Tiara, Kak Nuryadi,
dan Puspa—melakukan voting untuk memilih yang terbaik dari tiap perlombaan yang
diadakan hari ini.
Namun sebelum
pengumuman pemenang, anak-anak diajak untuk menggali pengetahuan lebih luas
lagi tentang binatang-binatang, yaitu unta dan beruang kutub dengan membaca
buku bergambar secara bergiliran. Kelihatannya ada yang belum begitu lancar
membaca dan teman di sebelahnya dengan senang hati membantu tanpa diminta. Budi
pekerti yang sangat baik terlihat dari tiap tindakan mereka. Saya hanya tersenyum
melihat itu semua, bangga bahwa masih ada calon generasi penerus bangsa yang
memiliki kepribadian seperti adik-adik kita. Ini yang harus dikembangkan,
jangan sampai mereka ternodai oleh hal-hal kotor yang dapat menghancurkan
negeri sendiri. Saya melihat akan ada calon pemimpin-pemimpin besar di sana.
Hadiah yang
diberikan bukanlah uang, bukan piala, ataupun piagam. Hanya makanan ringan
untuk tiap pemenang dari tiap perlombaan. Begitu sederhana, tapi begitu indah.
Saya hanya berharap jangan ada perubahan dari apa yang mereka miliki. Saya akan
kembali ke “Sekolah Kita” dan kembali mempelajari keindahan yang sesungguhnya.
Di tengah kesederhanaan yang begitu banyak cinta, dari alam dan isinya. Kembali
untuk mendapatkan tamparan-tamparan budi pekerti yang menakjubkan dari
malaikat-malaikat kecil calon penerus bangsa.
Bahagia itu
sederhana, sesederhana “Sekolah Kita” dan adik-adik kita.
1 komentar
Mantab Saudari......
BalasHapuskunjungi juga ya,,,,
ikamaruesjakes.blogspot.com
Kesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer