Aku punya satu keponakan yang
tinggal bersama di rumah, namanya Anggita. Dia sangat suka bermain. Menafikan kenyataan
bahwa dia adalah seorang siswa kelas empat sekolah dasar yang statusnya sedang
di ujung tanduk. Kenapa di ujung tanduk? Sebab nilai-nilainya yang begitu
buruk. Terancam tidak bisa naik kelas jika masih tidak dapat memperbaiki nilainya
itu.
Sayangnya, dia begitu tak acuh. Yang
kuperhatikan, dia hanya suka bermain. Berangkat sekolah marah-marah, disuruh
belajar malah banjir airmata, ngerjain PR ogah-ogahan.
Alhasil, aku dan mama yang ketumpuan. Harus selalu cek dan mengingatkan. Namun,
semakin ke sini dia semakin sulit mengerti bahwa itu semua adalah kewajibannya
sebagai siswa.
Semalam mama bertanya, “Ada PR,
gak?”
“Enggak ada,” jawabnya.
Namun, sekitar satu setengah jam
kemudian, ada seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan berkunjung ke
rumah. Tujuannya, menanyakan perihal pekerjaan rumah anaknya yang sekelas
dengan keponakanku. Kemudian, mama mencak-mencak memarahi keponakanku karena
terlalu santai menghadapi pelajaran yang semakin sulit. Akhirnya…
“Nduk, bantuin adeknya dulu sini!”
Ya, aku lagi yang kena.
***
Mengimani dua hal yang berbeda,
kurasa, bukanlah menjadi sesuatu yang tampak asing di negara kita. Sebab,
seperti yang tertera pada semboyan negara kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Walaupun,
ya, persatuan dari ke-bhinneka-an
tersebut masih begitu patut untuk dipertanyakan, setidaknya semboyan itu masih
hidup sampai sekarang. Setidaknya. Meskipun dengan hidup yang mulai kehilangan
makna.
Berlatar masa orde baru pada
tahun 1950-1994, dikisahkan mengenai kehidupan dua tokoh perempuan yang begitu
bertolak belakang. Uniknya, mereka ada di dalam satu ikatan darah, ibu dan anak
perempuannya.
Diawali dari kisah Sumarni, atau
yang akrab disapa dengan Marni, yang hidup dalam keluarga yang cukup sulit. Bersama
ibunya, Marni menjalani hari-harinya dengan menunggu ibunya pulang dari pasar
membawa bahan makanan lalu memasaknya. Hingga suatu ketika, seperti layaknya
perubahan biologis yang terjadi pada tubuh anak perempuan yang beranjak dewasa,
dadanya mulai mringkili.
Ternyata, Marni mulai merasakan
ketidaknyamanan akan perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Dia merasa
pergerakan tubuhnya tidak sebebas biasanya karena ada gumpalan asing yang
menempel di dadanya. Namun, dia tidak melihat ketidaknyamanan yang sama
dirasakan oleh Tinah, sepupunya yang juga sedang mengalami pertumbuhan yang
sama.
Dari sinilah kita akan mengenal
kata entrok. Aku pribadi, awalnya
masih sangat asing dengan kata tersebut. Apaan,
sih, ini? Namun, Okky Madasari
menjawab rasa penasaranku dalam timing
yang cukup tepat. Entrok merupakan
penyanggah dada atau yang sering kita kenal dengan BH (breast holder) dalam bahasa Jawa. Baiklah, sebagai anak dari
keluarga suku Jawa, kumerasa gagal karena sama sekali asing dengan kata
tersebut. Terima kasih, Mbak Okky, sudah memperkenalkan saya dengan entrok… setelah saya menggunakannya
sekian tahun lamanya.
Sumber: Pinterest |
Berangkat dari perkenalannya dengan
entrok yang digunakan Tinah sehingga
membuat Tinah tidak merasakan ketidaknyamanan yang dirasakannya, Marni bertekad
untuk memilikinya juga. Namun, setelah menyampaikan hal tersebut kepada ibunya,
ibunya menolak untuk membelikan Marni entrok.
Karena ternyata, entrok merupakan
barang yang mahal pada masanya. Jadi, bukan sekadar pakaian dalam seperti
pandangan masyarakat masa kini.
“Oalah, Nduk, seumur-umur tidak pernah aku punya entrok. Bentuknya kayak apa juga tidak tahu. Tidak pakai entrok juga tidak apa-apa. Susuku tetap
bisa diperas to. Sudah, nggak udah neko-neko. Kita bisa makan saja syukur,”
kata Simbok, Entrok, halaman 17.
Bagiku, Okky Madasari sangat
pandai mengemas cerita di dalam novel pertamanya ini, Entrok. Tentang bagaimana
beliau membangun cerita perjuangan perempuan yang dimulai dari tokoh Marni yang
mulai beranjak remaja hingga dewasa dan memiliki putri kebanggaan, Rahayu. Dari
hal yang begitu sederhana, pakaian dalam.
Kemudian, dengan nakalnya aku menyimpulkan bahwa pakaian dalam—dalam hal ini entrok—di novel ini menganalogikan sebuah niat yang kuat dari dalam
diri seseorang. Aku percaya bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini
jika manusia mau berdoa dan berusaha. Tentunya, dasar dari doa dan usaha itu
adalah niat yang kuat dari dalam diri manusia itu sendiri. Seperti yang digambarkan
Okky Madasari.
“Ya, orang hidup hanya butuh punya harapan. Lalu dia akan merasa punya jiwa dan semangat.” — Sumarni, Entrok, halaman 277.
Subordinasi terhadap perempuan
pun tampak sangat jelas tergambar pada masa di mana Marni berusaha mencari uang
untuk dapat memiliki entrok. Dia bekerja di pasar bersama ibunya sebagai
pengupas singkong, tapi sayangnya upah untuk para pekerja perempuan bukanlah
uang. Melainkan hanya berupa bahan-bahan makanan.
Namun, Marni tidak kehabisan
akal. Selain menampakkan tekad yang kuat untuk mencapai tujuannya, Okky
Madasari juga memperlihatkan secara tidak langsung bagaimana upaya perempuan
untuk dapat dianggap setara dengan laki-laki lewat tokoh Marni. Jujur saja, aku
sangat menikmati cerita Marni dengan berbagai perjuangan kerasnya hingga ia
bisa berhasil mencapai keinginan sederhananya hingga membuat kehidupannya aman di masa tuanya.
Rahayu dan penolakannya akan
kepercayaan Marni.
“Ealah… Nduk, sekolah kok malah menjadikanmu tidak menjadi manusia.”
Sumarni, Entrok, halaman 125.
Sebagai perempuan yang cerdas,
berpendidikan tinggi, dan taat dalam menjalani ibadah agama, Rahayu memandang
kebiasaan ibunya memuja leluhur (animism) merupakan sesuatu yang salah. Musyrik, katanya. Ketegangan di antara
ibu dan anak semakin terasa seiring dengan semakin bertambahnya usia dan
pemahaman Rahayu perihal kepercayaan yang didapatkannya di tiap jenjang
pendidikan.
Pemberontakan Rahayu terhadap
ibunya terus terjadi. Hingga pada puncaknya Rahayu memilih untuk pergi dari
rumah dan menikah dengan seorang pria tampan yang beristri. Sejak saat itu,
hubungannya dengan sang ibu terputus begitu saja karena Rahayu tidak pernah
sama sekali mengabari Marni. Miris, ya? Inilah gambaran bagaimana jika
toleransi pada diri orang-orang dalam kelompok masih di taraf yang rendah.
Agaknya cukup relate dengan apa yang seringkali
terjadi di Indonesia. Bukan hanya perihal keyakinan, tapi hal-hal lainnya yang
dianggap berbeda masih terus dilihat sebagai sebuah permasalahan. Bagiku,
sebetulnya kejadian demikian tidak perlu ada. Sebab kita hanya perlu memperluas
pandangan yang kita punya. Jangan menuding sesiapa, tanamkan dulu pada diri
kita.
Dari Marni dan Rahayu pun, Okky
Madasari menggambarkan bagaimana kondisi politik negeri yang begitu runyam pada
masanya. Kondisi yang begitu menakutkan, menegangkan, dan terus memaksa kita
untuk bungkam atas hal-hal yang seharusnya bisa dibicarakan secara gamblang. Hal-hal
yang keji banyak terjadi dalam Entrok.
Membuka mataku yang sejak dulu enggan belajar tentang sejarah dan bersinggungan
dengan urusan politik negeri ini.
Entrok pun membawaku pada
pandangan lain perihal rentenir yang selama ini selalu kupandang sebelah mata. Aku
sangat suka bagaimana Okky Madasari membangun emosi, kondisi, dan memainkan
perspektif lewat tulisannya. Cantik, menyenangkan, dan sama sekali tidak
membosankan walaupun dengan latar tahun yang sudah disebutkan di atas.
Untuk kekurangannya, mungkin ada
beberapa kata yang typo. Tidak begitu
mengganggu, sih. Selebihnya, membuatku ingin membaca tulisan Okky Madasari yang
lain!
Oh iya, di dalam Entrok, Okky Madasari menggunakan dua
sudut pandang: Marni dan Rahayu secara bergantian. Bukan hal yang baru, memang.
Bukan sesuatu yang istimewa, jelas. Namun lebih membuka pikiran kita mengenai
suatu keadaan dari sudut pandang yang berbeda.
Kalau aku diizinkan memberi
penilaian, mungkin…
4.5/5 yeay! |
Hati-hati dalam membaca Entrok,
saranku. Jika kamu masih ingin bermalas-malasan dalam belajar seperti
keponakanku, aku tidak menyarankan kamu untuk membaca Entrok. Sebab, ada PR
yang diselipkan oleh Okky Madasari selepas kita membaca tulisannya. Kalau kamu merasa dapat PR juga, kerjain bareng aku
yuk!
Tabik!
Pertiwi
36 komentar
Sadaaappp!! Review macam ini nih yang ditunggu. Mulus, tidak mbulet-mbulet, dan tidak menghakimi. Ajarin!
BalasHapusTiba-tiba aku jadi ingin nyoba pakai entrok. Rencana mau dipakai di bahu. Sebab area itu lebih melendung daripada dada.
Btw, suka entrok warna apa?
Sa ae lau hahaha
HapusKamu mau tak pinjemin po piye, hm?
Kalau kamu tau warna favoritku, kamu juga pasti tau jawabannya kok. Wakakak.
Bahkan bh bisa jadi bahan cerita. Gemblung!
BalasHapusKeren, ya? Iri, ih hwaaa~
HapusEntrok. Dikira entok yang bentrok. Ga taunya, aha, punyanya perempuan. Bagus reviewnya. Salam.
BalasHapusBacalah, banyak gambaran lelaki menyebalkan di sana.
HapusKenapa menyarankan untuk membaca dengan alasan banyak gambaran lelaki menyebalkan di buku tersebut. Saya ini lelaki, walau kadang menyebalkan, tapi kan dikangenin, eaaa.. :D
HapusYeu-_-
HapusAku yang org Jawa juga baru tau istilan "entrok" ini mbak TFS reviewnya :)
BalasHapusTernyata aku tidak sendiri hahaha
HapusCara nge-review nya keren banget, Tiw.
BalasHapusEh itu beli bukunya di bazaar carefour Buarannkan ya, jadi murah dong ya? Mau cari di carefour cipinang indah ahhhh.
Rumah kita ga jauh, Tiwi.
Ya ampun dibilang keren sama Mbak Dian, kujadi ingin menangis bahagia :')
HapusIya, buku sebagus ini dibandrol Rp10.000 doang coba.
Hayuk atuh main, Mbak. Tiwi belum pernah ketemu Mbak Dian kayaknya.
Ah mantap tulisannya! Suka banget, bikin jadi pengen baca bukunya. Makasih review nya kak Tiwi, langsung nyari Entrok ah.
BalasHapusMuehehe terima kasih sudah membaca, Rhena. Salam kenal, ya.
HapusAyuk beli, baca! Kalau dapat PR juga nanti kerjain bareng, ya. :3
Saya sedang belajar membuat review buku dan yang ini paling kece nih. Berasa membaca rangkuman tapi ngga jadi spoiler. Mantep pisan
BalasHapusAduh makasih, Om Dodon :3
HapusPenulisnya keren, mengangkat tema yang terlihat simpel tapi menjadi cerita yang rumit dan berisi. Review Mbak Tiwi juga keren. Sukakk.
BalasHapusIya, Okky Madasari keren banget! Hehe makasih ya, Mbak.
HapusEntrok itu Bra ya? Hihihi
BalasHapusIya.
HapusKak, Sastra Indonesia juga? Di mana? Hehehe... aku udah baca Entrok, btw.
BalasHapuszahra-salsa.blogspot.com
Hai, adik kelas! :)
HapusGue kira entrok itu novel binatang, tapi setelah diperhatiin lagi covernya ternyata gambar BH yaa :D
BalasHapusUrusan nulis emang lu jago nya dah tiw. Pemilihan katanya pas dan rapih (iyalah editor yekaann), gue aja bacanya santaii banget, eh tau-tau udah abis artikelnya :(
Aelah sa ae lu wqwqwq
HapusKece reviewnya, bahasanya nyaman dibaca dan apik. wuiih bikin penasaran ama Novelnya Okky nih.
BalasHapusBaca doong hehehe
HapusTerkadang dalam meriview saya suka terbawa suasana bahasa buku tersebut.. di tulisan MBA ko saya nda menemukannya ya.. patut dibaca untuk menambah khasanah ini..
BalasHapusHehehe ayuk baca, Mas :3
HapusBelum baca yg entrok. Kemarin baru kelar yg Pasung Jiwa. Mba Okky emang kece ya mengangkat hal2 sederhana menjadi novel luar biasa. Makasih tiwi reviewnya. Jadi pengen baca lengkapnya.
BalasHapusAku mau baca Pasung Jiwa, katanya bagus heu. :(
HapusSama-sama, Mbak Ira hehehe
Dari entrok sampai ke politik hihihi.. Hal yang sangat jauh ya, tiw. Btw sama aku juga baru tau entrok=BH wkwkkwkw
BalasHapusIya jauh banget ya hahaha tapi analogi di awalnya dapet banget buat nganterin kita ke hal yang jauh lebih berat.
HapusBukunya mba Oky dua juga saya dapat di bazaar, dan memang luar biasa keren. Yang Entrok ini saya belum punya. Wow ada di bazaar Carefour BP ya...
BalasHapusCari, Mbak, cariiiiiii~
HapusHalo Mba.. Salam kenal. Suka banget sama review-nya. :)
BalasHapusAku pernah baca novel ini. Waktu kehabisan bacaan, malah novel ini aku baca lagi, hihi...
Betewe, aku juga baru tau arti entrok setelah baca novel ini. Padahal aku juga jawa tulen. Deuh, sama-sama gagal Jawa kita. :D
Allahurabbi baru baca dong komen Mbak Arin di sini hahahaha
HapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer