“Dan aku akan
menghidupkan bayangmu lewat partikel kecil yang selalu kaucintai dalam hidupmu.
Mengabadikan tiap jejak keindahan yang kaupuja selama udara masih seiring
dengan langkahmu.”
***
Asap mengepul dari mulutnya yang
membentuk huruf O dengan sempurna. Di tangan kirinya, telunjuk dan jari tengah
itu mengapit benda kecil berukuran sembilan sentimeter dengan ujung yang
terbakar. Berkali-kali, lelaki itu mengulangi kegiatannya: menghirup udara yang
dikeluarkan dari benda kecil dalam genggamannya. Kemudian matanya menerawang,
mengikuti ke mana arah asap yang baru saja dikeluarkannya itu melayang.
Di atas sana, bulir-bulir
lembut itu kembali menyapa. Langit malam tampak semakin kelam. Semakin
menghasut jiwa-jiwa yang sepi untuk menepi, mengalah pada diam.
“Bagaimana
kabarmu, Pria Perokok?” tanyaku.
“Masih tetap
baik selama tuhanku masih tetap dalam genggaman.”
“Masih saja
dirimu menuhankan benda sembilan sentimeter itu?”
“Tentu,”
jawabnya mantap sembari kembali menghisap tuhannya itu dengan bibirnya yang
kehitaman.
“Lintingan
tembakau dengan lebih dari 40.000 zat aditif yang berbahaya bagi tubuh itu
masih saja kamu bela? Betapa bodohnya! Dianugerahkan paru-paru yang bersih oleh
Tuhan dan kamu akan mengembalikannya dalam keadaan cacat? Tidak tahu terima
kasih!”
Aku di
hadapannya, di hadapan lelaki yang baru saja mencoba melemparkan tuhannya ke
dalam tong sampah. Meleset. Kemudian dia mendengus kesal dan masuk ke dalam
kediamannya yang begitu terabaikan: sampah di mana-mana, debu melapisi tiap
detil yang ada, dan segala bau bercampur-aduk dengan sangat menyengat.
“Mengapa kamu
begitu mengabaikan istanamu, Pria Perokok?”
“Bukan
urusanmu!”
“Aku tahu,
Wanita Bunga tidak menyukai ini dan akan meninggalkanmu perlahan.”
Sejenak, lelaki
itu terdiam. Menyapu pandangannya ke tiap sudut ruangan yang dapat
dijangkaunya. Benar-benar jauh dari kata terawat.
Tetiba dia
teringat, esok hari Wanita Bunga akan datang. Dia mulai mengumpulkan benda-benda
busuk yang tercecer di sekelilingnya, memasukkannya ke dalam sebuah trashbag hitam besar dan sesegera
mungkin mengangkutnya ke luar rumah.
Jam di dinding
yang kusam itu menunjukkan pukul 21.19, lelaki itu telah melangkahkan kaki ke
luar pintu dengan trashbag di
punggung kirinya. Menerobos bulir bening yang masih setia berjatuhan dari
bentangan angkasa, dia menuju ke sebuah sungai yang tak jauh dari kediamannya.
Tanpa rasa bersalah, dia melemparkan apa yang dibawanya ke sungai yang
keadaannya tak jauh berbeda dengan kediamannya.
Aku sangat prihatin.
Sungai ini seperti telah disulap menjadi sebuah tong sampah raksasa. Airnya
yang kecoklatan dan sampah yang berserakan di sepanjang bantarannya. Memalukan.
Aku mulai geram,
bulir-bulir di angkasa pun jatuh dengan kapasitas yang lebih besar.
“Berhentilah menyakiti
lingkunganmu, Pria Perokok!”
“Ada yang salah?
Mereka pun melakukan hal serupa!”
“Itu bukan
alasan untukmu melakukan hal demikian!”
“Lalu kamu bisa
apa?”
“Kamu akan
merasakannya di saat aku telah murka!”
***
Pagi, kelabu
telah menggantung dengan sempurna di atas sana. Matahari sedang enggan
menampakkan wujudnya. Mungkin karena lelah yang melanda. Sendu berkuasa atas
suasana yang pilu. Seperti gadis itu, yang sedang menunggu lelakinya datang di
bangku taman kala itu.
“Maaf, kamu
sudah lama menunggu?” lelakinya datang, dengan napas yang masih terengah-engah
dan peluh di sekitaran dahi yang menetes sampai pipi.
Hampir saja,
hampir sang gadis melayangkan pelukannya kepada si lelaki. Namun sayang, niatya
urung ketika diciumnya bau asap yang tak sedap.
“Rokok lagi,
ya?” tanya gadis yang dibalut mini dress
cantik bermotif bunga berwarna merah muda tersebut.
“Ah, hm... maaf.
Aku candu.”
“Beratkan saja
candumu, abaikan niat untuk berhenti mencumbui benda itu seperti yang kamu
katakan saat itu.”
Deg! Lelaki itu
tertampar. Bukan. Bukan fisiknya yang tertampar, tetapi hatinya. Beratkan saja candumu, abaikan niat untuk
berhenti mencumbui benda itu seperti yang kamu katakan saat itu. Gadis itu
memang teramat pandai meracik kata dengan sedemikian rupa. Namun sayang, lelaki
itu masih saja mengabaikan peringatannya. Masuk telinga kanan dan kembali
keluar lewat telinga kanan. Tak sampai pada otaknya.
Lagi,
rintik-rintik itu datang lagi. Menemani dua hati yang sedang berdiam diri.
Menikmati bisu di tengah sendu yang membuat keduanya kelu. Keduanya menjauh,
mencari tempat berteduh. Di bawah bilik bambu di dekat situ, mereka bernaung.
“Sudah kubilang,
bukan? Wanita Bunga tidak akan menyukai kelakuanmu!”
“Mengapa kamu
selalu datang dan menghantuiku dengan bisikan-bisikan busuk seperti itu?”
lelaki itu tampak mengepalkan sebelah tangannya yang tergantung di samping
paha.
“Bisikan busuk,
katamu?”
“Ya! Ah, sial!
Ke mana Mentari pergi?” tanyanya.
“Dia sedang
berlibur dan tidak ingin diganggu,” jawabku.
“Kalau begitu,
pergilah kamu! Susul saja Mentari ke tempatnya berlibur! Jangan ganggu aku!
Jangan ganggu kami!”
“Hahaha!” aku
tertawa mendengar ucapannya. Bersama gemuruh dan petir yang menguasai angkasa,
aku membuatnya menutup telinga. “Sekarang, di mana tuhanmu itu?”
“Dia akan tetap
dalam genggamanku hingga akhir hayatku nanti!” serunya sembari mengangkat
sebelah tangan dengan tuhannya di antara jari telunjuk dan jari tengah.
“Begitu?” gadis
itu akhirnya angkat suara.
“B-bukan,
maksudku...”
“Wanita Bunga,
ikutlah denganku!” ajakku. “Kamu akan menemukan tempat di mana kamu dapat
bercinta dengan alam dan bunga-bunga yang cantik layaknya parasmu,” lanjutku.
“Benarkah?”
seketika mata gadis itu berpendar dengan sempurna menyambut ajakanku.
“Jangan!” larang
lelaki itu.
Namun terlambat.
Gadis cantik itu telah menjabat tanganku, mengikuti jejakku menuju persinggahan
terakhirnya dengan tangis haru. Dia bersamaku, hanyut bersama partikel-partikel
kecil yang telah lama menunggu. Banjir bandang datang bersamaan dengan amarahku
kepada lelaki itu. Kubiarkan dia di situ, bersama kenangannya bersama gadis
yang sekarang telah berada di sisiku. Menikmati alam yang telah dirusaknya dari
waktu ke waktu. Suatu saat nanti aku akan kembali untuk menjemput lagi. Mungkin
selanjutnya: giliran Kamu menikmati tempat ini.
***
“Tuhan, maafkan
aku karena menuhankan benda kecil yang tak berguna ini. Aku menyesali kepergian
gadisku. Aku mencintainya dan aku berjanji akan menghidupkannya kembali.”
Usai berdoa,
lelaki itu berjalan menuju teras depan rumahnya. Teras yang sama dengan suasana
yang amat berbeda. Kali ini, tiap sudutnya ditumbuhi bunga-bunga. Persis
seperti apa yang disukai gadisnya. Lewat mereka, dia mencoba mengembalikan
bayang yang hilang dari seseorang yang dicintanya.
Penyesalan.
Ketika alam telah murka, maka hanya pasrah yang dapat kita terima.
***
“Dan aku akan
menghidupkan bayangmu lewat partikel kecil yang selalu kaucintai dalam hidupmu.
Mengabadikan tiap jejak keindahan yang kaupuja selama udara masih seiring
dengan langkahmu.”
TAMAT
(a short story
by @prtiwiyuliana)
19 komentar
"Dan aku akan menghidupkan bayanganmu lewat partikel kecil yang selalu kau cintai dalam hidupmu. Mengabadikan tiap jejak keindahan yang kau puja selama udara masih seiring dengan langkahmu."
BalasHapusSederhana, tapi mengandung makna yang luar biasa. Suka sekaliiiii :)
Ihihihi terima kasih :)
HapusBisa ya men-Tuhan-kan rokok (atau cerutu).
BalasHapusAku dong, ga ngerokok.
Di cerpen mah apa, sih, yang gak bisa? Ngidup-matiin orang seenak jidat aja bisa :p
HapusGak ngerokok? Baguuuus~~~
Bener juga ya, kita dikasi paru paru yg cantik bersih masak iya kita ngembaliinnya dalam keadaan yg bener bener busuk? Oke nanti aku ngomong gitu sama Bapak ._.
BalasHapusYuk, jangan biarkan orang terdekat kita celaka nantinya :)
HapusSeperti biasa, apa yang di tulis langsung tergambar jelas di kepala..Keren ahh :)
BalasHapusPergaulan anak muda jaman sekarang emang gitu, kalo nggak ngeroko nggak keren :D haha untung gue nggak, udah jadi prinsip!
Tapi gue keren :p pffttt
"Straight Edge"
Jemphoollll!
HapusIihh.... kereen banget...
BalasHapusKata2 & sudut pandangnya bikin hanyut... hehe
Kamu mau ikut hanyut juga kayak Wanita Bunga? :p
Hapusharus belajar bikin cerpen dari mbak Tiwi nih. keren, gue terhanyut membacanya, jadi siapakah Aku itu wahai mbak Tiwi? malaikat atau sisi baik dari dirinya yang berbicara di kepala atau hatinya gitu?
BalasHapuspemilihan diksinya juga bagus :)
alhamdulillah ya, gue nggak ngerokok haha
Ayuk belajar pas kopdar :D
HapusTebak doong~~~
okeh.. gratis kan? :)
Hapusmales main tebak-tebakan.. haha
Gue, sih, gak memungut biaya. Tapi kalo mau bayar ya alhamdulillah :p
HapusLebih sayang sama rokok daripada sama si gadis. :(
BalasHapusEndingnya bagus.. Tapi sedih. Huhuhu.. :'
Hihihi makasih ya :)
Hapusharusnya ini dibaca oleh semua perokok.. boleh saya share?
BalasHapusimajinasi yang bagus sekali, lelaki perokok, wanita bunga, mentari.. ceritanya mengalir tanpa dibuat-buat.. mbak Tiwi keren banget nih ceritanya..
Boleh, sumbernya jangan lupa ya :)
HapusHihihi terima kasih :D
Iya wi -_-
BalasHapusKesalahan orang-orang pandai ialah menganggap yang lain bodoh, dan kesalahan orang-orang bodoh ialah menganggap orang lain pandai. - Pramoedya Ananta Toer